REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi II DPR, Rambe Kamarul Zaman membantah jika rencana revisi Undang-Undang (UU) Pilkada merupakan ide dari DPR. Ia menegaskan, ide untuk merevisi UU Pilkada justru datang dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Rencana revisi itu datang dari KPU, usulnya juga datang dari mereka, Komisi II hanya menanggapi usulan tersebut dengan membentuk panitia kerja (Panja)," ujarnya kepada Republika, Kamis (7/5).
Ia melanjutkan, DPR diminta memasukan usulan revisi tersebut ke Peraturan KPU (PKPU). Setelah itu rancanagan tersebut akan diberikan ke pimpinan DPR. Kemudian melalui Panja, Komisi II menghasilkan tiga poin inti.
Rambe menjelaskan, pertama bagi partai politik (parpol) yang bersengketa harus inkracht (berkekuatan hukum tetap) jika ingin mengikuti Pilkada. Kedua, parpol yang bersengketa harus damai. Terakhir, parpol bisa menggunakan putusan peradilan yang ada dan terakhir.
"Namun KPU mengkritisi poin yang terakhir, alasannya karena tidak ada payung hukum untuk itu," katanya.
Selain itu, Rambe mengatakan KPU juga tidak ingin diintervensi. Ia mengatakan terkait poin terakhir dari Panja tersebut pertimbangannya adalah keadaan yang mendesak.
"Karena ini menyangkut kepesertaan parpol dalam Pilkada," ucapnya.
Sebelumnya, KPU melalui draf Peraturan KPU mensyaratkan parpol yang bersengketa di pengadilan harus sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau sudah islah sebelum pendaftaran Pilkada.
Namun dalam rapat antara Pimpinan DPR, Komisi II DPR, KPU dan Kemendagri, Senin (4/5), DPR meminta KPU untuk mengikutsertakan partai bersengketa dalam pilkada meskipun baru mengantongi putusan sementara pengadilan.
KPU menolak permintaan tersebut karena tidak ada payung hukum yang mengatur atas hal itu. Akhirnya, DPR sepakat untuk merevisi UU Parpol dan UU Pilkada untuk menciptakan payung hukum baru.