REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sejarawan, Dhanang Respati Puguh, dari Universitas Diponegoro menilai bahwa dari sejarahnya seorang Raja pada Kerajaan Jawa punya kewenangan mengubah peraturan. Hal tersebut ia ungkapkan terkait dengan pengangkatan putri sulung Sri Sultan Hamengkubuwono X menjadi putri mahkota.
“Tentu hal ini berbeda dengan kebiasaan yang dudah dilakukan pada kerajaan Jawa sebelumnya,” kata Dhanang, Kamis (7/5). Menurutnya sejak dahulu belum ada sejarahnya sejak kerajaan Demak dan Mataram ada kerajaan yang dipimpin oleh seorang perempuan termasuk di Keraton.
Ia menilai, pengangkatan seorang perempuan menjadi putri mahkota ada kaitannya dengan persetaraan gender di lingkungan Keraton. “Itu kalau kita lihat dengan konsep pemikiran zaman sekarang ya. Dengan pemikiran demokrasi tentu hal tersebut bisa diperkirakan,” jelas Dhanang.
Lebih lanjut ia menjelaskan, jika memang hal tersebut benar kemungkinan memang Raja mempunyai rencana untuk menjadikan seorang perempuan menjadi pemimpin kerajaan. “Makanya ada penghapusan kata Khalifatullah pada gelar sutan karena hal tersebut identik dengan kepemimpinan laki-laki dalam nilai-nilai Islam,” ungkap Dhanang.
Oleh karena itu menurutnya, tak heran jika keputusan Raja tersebut menimbulkan konflik pada keluarga Keraton. “Dari zaman dulu jika ada perubahan peraturan yang dilakukan oleh seorang Raja dalam kerajaan pasti menimbulkan perbedaan pendapat. Bahkan dulu saat zaman penjajahan Belanda tak jarang hingga menimbulkan perang,” kata Dhanang.