REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua PWNU DIY M. Jadul Maula mengungkapkan penobatan GKR Pembayun sebagai Putri Mangkubumi yang berarti pengangkatan sang putri menjadi putri mahkota adalah kepentingan keluarga yang ingin melanjutkan dinasti. Padahal dalam paugeran keraton (Undang-Undang Keraton) yang namanya sultan Mataran itu mesti laki-laki.
“Ini yang paling prinsip yang gak bisa diolah karena ini tidak semata-mata penafsiran terhadap Al Quran dari ajaran Islam. Tapi ini adalah sesuatu yang dikontekstualisasikan dalam konteks kesultanan Mataram,” kata dia kepada ROL, Jumat (08/05).
Jadul menambahkan, Sabda Raja ini berpotensi mengubah aturan ini secara radikal. Ini juga yang menimbulkan reaksi keras baik dari lingkungan keraton maupun dari masyarakat Yogyakarta.
“Apalagi perubahan ini dasarnya hanya kepentingan keluarga atau pribadi,” tambah dia.
Sebelumnya, Sri Sultan mengeluarkan 5 sabda yakni, pertama, penyebutan Buwono diganti menjadi Bawono. Kedua, kata Khalifatullah dalam gelar Sultan 'Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat' dihilangkan.
Ketiga, penyebutan kaping sedasa diganti kaping sepuluh. Keempat, mengubah perjanjian pendiri Mataram yakni Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan. Kelima, atau terakhir menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun.