REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan dari Universitas Diponegoro, Dhanang Respati menilai wajar jika Sabda Raja yang dikeluarkan Sultan Hamengku Buwono (HB) X menimbulkan polemik, bukan saja di lingkungan Keraton Yogyakarta namun juga di masyarakat umum.
"Raja Keraton bisa mengeluarkan sabda seperti itu, sejak dulu memang pro kontra akibat dari titah raja memang sering kali terjadi," katanya kepada ROL, Jumat (8/5).
Menurutnya memang, Raja dalam Kerajaan Jawa bahkan jauh saat Zaman Kerajaan Mataram Islam memang memiliki kewenangan mutlak untuk mengubah-ubah suatu aturan dalam kerajaan tersebut.
Ia melanjutkan, pro kontra akibat keputusan yang dibuat raja tak hanya terjadi pada masa Sultan HB X tapi pada masa sebelum-sebelumnya juga sudah sering terjadi.
"Waktu zaman penjajahan Belanda dulu, sejak saat itu jika Raja dalam Kerajaan Islam membuat undang-undang atau peraturan pasti menimbulkan pro kontra. Bahkan bisa sampai menjadi peperangan," jelasnya.
Selain itu, menurut Dhanang pasti pro kontra tersebut bisa menimbulkan friksi diantara Keluarga Keraton. Menurutnya, apapun isi Sabda Raja tersebut pasti Raja sendiri punya rencana dan perhitungan mengenai kelangsungan kerajaan tersebut kedepannya dan ia berhak untu menggunakan kewenangan mutlaknya.
Seperti diketahui, enam adik Sultan Hamengku Bawono X dan masyarakat Yogyakarta berkumpul di Ndalem Yudonegaran yaitu kediaman GBPH Yudhaningrat. Pertemuan tersebut dilakukan pada Kamis (7/5) untuk membahas Sabda Raja Kesultanan Yogyakarta yang dirasa sudah merubah tradisi.