Oleh: KH Didin Hafiudin, Ketua Umum Baznas
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkembangan dan realita yang terjadi dalam kehidupan bangsa saat ini, terutama dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan, ternyata jauh meleset dari harapan, baik karena faktor ekonomi global, nilai tukar rupiah yang terus melemah, maupun faktor domestik dalam tata kelola pemerintahan yang tak kunjung teratasi.
Salah satu isu paling aktual dan krusial belakangan ini ialah melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kuartal I 2015. Perlambatan pertumbuhan ekonomi secara sistemik memengaruhi peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran terbuka meningkat dalam setahun terakhir, dari 5,07 persen menjadi 5,18 persen. Dari data tersebut, jumlah pengangguran di asumsikan bertambah sebanyak 300 ribu jiwa dalam satu kuartal. Pertambahan pengangguran tampaknya masih akan terjadi di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kelesuan industri dan merosotnya daya beli masyarakat.
Kalangan ahli ekonomi memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa mengarah ke batas bawah kisaran 5,4-5,8 persen. Sesuai kondisi riil, pelemahan pertumbuhan ekonomi bukan semata- mata terkait kinerja beberapa komponen permintaan domestik, seperti konsumsi lembaga nonprofit, konsumsi pemerintah, investasi pada sektor bangunan, dan akibat belum optimalnya penyerapan belanja.
Faktor lain yang tidak dapat disembunyikan dan menjadi sebab pelambatan atau penurunan ekonomi ialah melemahnya daya beli masyarakat pascapencabutan subsidi BBM, kenaikan tarif dasar listrik, dan lainnya. Dalam kondisi yang jelas makin menyusahkan rakyat, peran negara seharusnya dirasakan secara konkret.
Tetapi, sejauh ini masih belum seperti yang diharapkan. Tidak heran bila dalam saat bersamaan, kesadaran bela negara bangsa Indonesia saat ini diduga sedang mengalami proses penurunan yang mengkhawatirkan.
Seperti diungkapkan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, beberapa waktu lalu, berdasarkan survei masalah wawasan kebangsaan yang dilakukan di 106 negara, Indonesia menempati urutan ke-95, suatu peringkat yang rendah sekali. Padahal, untuk bela negara, harus siap mati dan siap mengorbankan diri untuk bangsa dan negara, demikian tegas Menteri Pertahanan.
Kritik terbuka yang disampaikan tokoh Islam dan pejuang kemerdekaan, almarhum Mr Sjafruddin Prawiranegara, pada zaman Orde Baru semestinya tidak terulang kembali pada era pemerintahan hasil pilihan rakyat sekarang. Pada waktu itu, Sjafruddin Prawiranegara mengkritisi pemerintah terlampau mengagungkan peranan modal asing sehingga kurang melindungi modal dan tenaga manusia Indonesia dalam usaha pembangunannya.
Pemerintah terlampau silau menghadapi modal raksasa asing sehingga pemerintah kurang mampu memobilisasi tenaga dan daya kreasi rakyat Indonesia supaya benar- benar turut berpartisipasi dalam usaha pembangunan.
Pemerintah dan siapa pun tidak bisa secara gampang mengalihkan kesalahan pada faktor perekonomian global yang tengah mengalami perlambatan.
Tetapi, perlu disadari faktor-faktor internal yang turut memberi andil dan memberi efek domino terhadap kondisi perekonomian nasional yang memburuk. Dalam situasi ekonomi yang tidak menguntungkan dan menimbulkan kegalauan ini, kita perlu mengingatkan bahwa pemerintah perlu mencari akar masalahnya.
Pengelolaan negara dan pemerintahan tidak bisa hanya mengandalkan paradigma ekonomi kapitalis dan logika-logika pragmatisme ekonomi modern, tetapi haruslah menggunakan paradigma kesejahteraan rakyat. Negara adalah alat untuk melindungi dan menyejahterakan seluruh rakyat.
Di sinilah, antara lain, perbedaan mendasar antara konsep negara menurut alam pikiran kolonial dan negara yang dicita-citakan para pejuang kemerdekaan kita. Solusi instan terhadap problematika ekonomi sering kali tidak bertahan lama dan tidak bisa mengatasi masalah yang mendasar.
Sebagai contoh, kebijakan privatisasi, yakni penjualan saham-saham BUMN strategis seperti dilakukan pada masa lalu, bukanlah jalan keluar yang me nguntungkan bagi negara dan kesejahteraan rakyat jangka panjang. Begitu pun proyek- proyek infrastruktur yang di satu sisi mampu mengubah wajah Indonesia dalam jangka panjang, tapi dibiayai dengan utang luar negeri, tidak akan banyak menolong selama fundamental ekonomi di dalam negeri sendiri rapuh dan angka kemiskinan cenderung bertambah.
Langkah penyelamatan yang diharapkan bisa ditempuh pemerintah saat ini ialah memperbaiki kebijakan ekonomi yang berorientasi pasar kepada kebijakan ekonomi berorientasi kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Di sisi lain, para elite kekuasaan yang ada di pemerintahan dan di partai-partai politik seharusnyalah memperbaiki perilaku dengan tidak mempertontonkan polemik, konflik, dan kegaduhan yang tidak ada manfaatnya bagi rakyat banyak, tapi justru melemahkan kepercayaan masyarakat dan menambah situasi ketidakpastian.
Dalam kaitan ini, diperlukan terobosan upaya pengentasan kemiskinan secara terintegrasi. Selama ini, program pembangunan kesejahteraan rakyat dan pengentasan kemiskinan terdapat di hampir semua kementerian/lembaga dan di semua pemerintah daerah.
Setiap tahun menghabiskan anggaran sede mikian besar, namun terus terang, sebagian besar rakyat kita boleh dikata belum menikmati hasilnya secara langsung. Seba gian besar rakyat masih harus menanggung beban biaya kebutuhan hidup yang tidak seimbang dengan tingkat pendapatan mereka di tengah gaya hidup mewah sebagian elite bangsa yang menjemukan.
Mengapa program-program pengentasan kemiskinan tidak maksimal hasilnya (output-nya) meski penyerapan anggarannya tetap maksimal? Terutama, kare na pelaksanaannya di lapangan kurang terkoordinasi, tidak amanah, dan tidak saling menguatkan antarsektor. Hasil maksimal akan sulit dicapai jika setiap sektor ingin menonjol dan ditonjolkan.
Sebagaimana kita tahu, salah satu potensi bangsa untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi ialah pemberdayaan peran dan kontribusi ekonomi syariah.
Dalam ekonomi syariah terangkum beberapa aspek yang sangat penting artinya bagi keta- hanan ekonomi nasional, seperti penguatan sektor riil, penyehatan institusi keuangan, pem- berdayaan zakat dan wakaf, bahkan keuangan haji. Untuk itu, sudah saatnya ekonomi syariah dikuatkan perannya sebagai bagian dari upaya pengentasan kemiskinan secara terintegrasi.
Ekonomi syariah tidak perlu diragukan lagi, merupakan solusi dalam menghadapi tantangan kemiskinan dan meminimalisasi dampak perekonomian liberal dan kapitalis.
Mengingat mayoritas bangsa Indonesia adalah umat Islam, penguatan peran ekonomi umat Islam perlu dilakukan dengan langkah strategis dan berkesi - nam bungan. Kemiskinan dan ketimpangan sosial akan bisa diatasi, ekonomi nasional akan kembali stabil dan mengalami pertumbuhan bila kita mampu melakukan pendekatan dan recovery secara terintegrasi dengan memperbaiki dari hulu dan akar masalahnya.
Barangkali tidak perlu teori muluk-muluk, seperti dikatakan almarhum Bung Hatta, konsep "nasional" sebetulnya sederhana, tapi membumi, yaitu "membangun perekonomian rakyat", bukan dalam arti membangun kapitalisme nasional. Semoga bangsa kita ke depan dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang menghasilkan kesejahteraan masyarakat dan bangsa.
Wallahu a'lam bis shawab.