REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Tajikistan akan memperimbangkan kembali larangan pemakaian dan penggunaan nama Arab bagi para warganya. Mereka akan siap menawarkan daftar alternatif lain yang diharapkan bisa diterima bagi para orangtua yang anaknya memiliki nama Arab.
"Setelah adopsi peraturan ini, kantor registri tidak akan mengizinkan pendaftaran nama yang salah atau asing bagi budaya lokal, termasuk nama-nama yang menunjukkan benda, flora dan fauna, serta nama-nama bernuansa Arab," ujar pejabat di Departemen Kementerian Kehakiman catatan sipil, Jaloliddin Rahimov, seperti dikutip laman onislam.net, Ahad (10/5).
Sebelumnya, Presiden Tajikistan, Emomali Rahmon telah meminta parlemen untuk mengeluarkan Rancangan Undang-undang (RUU). Orang yang paling berkuasa di negeri itu meminta parlemen untuk mengeluarkan RUU pelarangan pendaftaran nama yang dianggap "terlalu Arab".
“Jika diadopsi, hukum baru itu tentu saja akan diterapkan pada bayi yang baru lahir,” ujar Rahimov.
Menurut Rahimov, peraturan ini akan menyebabkan orang tua tidak bisa datang dengan nama baru untuk mendaftarkan nama anaknya pada negara. Oleh sebab itu, katanya, Departemen Kehakiman akan menawarkan mereka daftar nama yang direkomendasikan. Selain itu, anggota parlemen juga berpendapat agar nama Arab itu diubah menjadi nama yang terdengar Tajikistan.
Tajikistan merupakan negara sebagian besar warganya beragama Islam. Menurut CIA, hampir 90 persen dari 7,2 juta penduduk Tajikistan itu Muslim.
Wanita Tajik Muslim telah menghadap serangan berulang kali terhadap kebebasan beragama. Hal ini terjadi setelah pemerintah memberlakukan larangan jilbab di sekolah-sekolah, di tempat kerja, dan di foto paspor. Meskipun terdapat larangan jilbab secara resmi di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah, pakaian Islam telah menjadi perlengkapan tetap di negara mayoritas Muslim.