REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Ricardi S. Adnan mengatakan keterlibatan artis dalam kasus prostitusi sudah terjadi sejak dulu. Dia pun mengungkapkan ketidakheranannya lantaran menurutnya situasi ini sudah menjadi rahasia publik dan bukan kasus baru.
“Sebenarnya itu bukan isu (baru) lagi. Sejak tahun 90-an saya sudah denger ko banyak artis yang menjual diri sebagai sampingannya,” kata Ricardi saat dihubungi Republika Online (ROL), Ahad (10/05) malam.
Ricardi menambahkan kehadiaran media massa terlebih media sosial yang kerap mempertontonkan kehidupan glamour dan hedonisme menjadi penyebab utamanya.
Secara tidak langsung, lanjut dia, tontonan tersebut mendidik kita untuk berkiblat pada kehidupan dan dunia barat yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai Indonesia yang menjunjung tinggi budaya timur.
“Tapi dari segi naluriah manusia keadaan itu dari packaging-nya sangat menarik. Entah itu diperuntukan bagi infotainment, entah diperuntukan bagi acara dan hiburan. Nah, kehidupan mereka itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada di barat,” kata Ricardi menambahkan.
Pada Sabtu (9/5) dini hari WIB, petugas Polres Jaksel menangkap tangan RA dan seorang perempuan berinisial AA di sebuah hotel bintang lima. RA dikenal sebagai mucikari dari prostitusi kelas kakap.
RA mematok harga minimal Rp 80 juta sampai Rp 200 juta terhadap satu perempuan penghibur. Harga itu untuk pelayanan singkat atau short time dengan durasi tiga jam. Selain mematok harga yang fantastis, RA dan para perempuannya hanya menerima pelayanan di hotel berbintang.
Saat ini pihak Polres Jakarta Selatan masih menyelidiki kasus prostitusi ini. Polres masih mengembangkan kasus untuk mengungkap jaringan yang lebih besar.