REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peringatan Tragedi Mei 1998 tahun ini menginjak ke-17. Namun, nasib kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) maupun orang yang hilang akibat tragedi itu hingga saat ini masih gelap.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Feri Kusuma mengatakan, sebelum reformasi diduga terjadi banyak pelanggaran HAM.
"Namun belum diselesaikan secara berkeadilan. Sampai sekarang keluarga korban menuntut keadilan," katanya di Jakarta, Senin (11/5).
Ia mengaku telah menempuh upaya meja hijau ke aparat hukum terkait untuk mengusut tuntas kasus ini. Dia menjelaskan, ada tujuh berkas pelanggaran HAM di masa lalu yang pihaknya serahkan ke jaksa agung maupun Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM).
"Bahkan, kami sudah tiga kali bolak-balik menyerahkannya ke jaksa agung dan Komnas HAM tetapi tidak ada kejelasan," ujarnya.
Memang, kata dia, Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam), jaksa agung, hingga Badan Intelejen Negara (BIN) duduk bersama untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu. Mereka akhirnya menghasilkan solusi rekonsiliasi.
"Tetapi, apa yang diinginkan korban tragedi ini?yaitu keadilan dan pengungkapan kebenaran. Proses ini yang harus dilalui pemerintah sebelum rekonsiliasi," jelasnya.
Pihaknya dan keluarga korban Mei 1998 menggugat itikad baik dari pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu. Apalagi, kata dia, Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dalam Nawacita berjanji akan menghapus pelanggaran HAM berat di masa lalu, dan menghapus impunitas di masa lalu.
Ia mengapresiasi niat Jokowi tersebut. Untuk itu, ia meminta kepada Jokowi supaya menginstruksikan penyidikan pelanggaran HAM ke lembaga-lembaga itu seperti jaksa agung dan Komnas HAM.
"Niat Jokowi harus diikuti pegawai di bawahnya. Kalau melanggar, pecat saja mereka," kataya.
Pihaknya juga meminta presiden meminta maaf kepada korban pelanggaran HAM berat. Langkah seperti ini yang pernah dilakukan Presiden BJ Habibie minta maaf korban pelanggaran HAM berat di Aceh saat dia menjabat.
"Korban tragedi Mei 1998 hanya menuntut keadilan," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Mariana Amirrudin mengatakan, tragedi Mei 98 adalah isu nasional yang sampai sekarang belum dijadikan sebagai peringatan penting, baik masyarakat maupun negara.
"Hingga saat ini, belum ada pelaku yang dimintai pertanggungjawabannya oleh negara terhadap sejumlah kasus pelanggaran HAM tersebut," jelasnya.
Padahal, dia melanjutkan, tragedi kemanusiaan yang menorehkan sejarah kelam perjalanan bangsa Indonesia. Banyak orang dinyatakan tewas dalam sejumlah kerusuhan yang terjadi di sejumlah kota besar di Tanah Air, termasuk Jakarta.
Ia menyebutkan berdasarkan laporan 'sujud di hadapan korban tragedi Jakarta Mei 1998' yang dikeluarkan oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK), setidaknya terdapat 1.217 jiwa yang meninggal, 91 orang luka, dan 31 orang hilang.
"Bahkan, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998 telah memverifikasi adanya 85 perempuan korban kekerasan seksual yang berlangsung dalam rangkaian kerusuhan tragedi Mei 98," jelasnya.
Rinciannya 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan atau penganiayaan seksual, dan sembilan orang korban pelecehan seksual.
TGPF, kata dia, telah menegaskan bahwa kekerasan seksual telah terjadi seama kerusuhan dan merupakan salah satu bentuk serangan terhadap martabat manusia yang telah menimbulkan penderitaan yang dalam, rasa takut, dan trauma yang luas.
"Kelahiran Komnas Perempuan pun merupakan buah dari desakan masyarakat sipil, utamanya gerakan perempuan yang menuntut negara bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan seksual pada tragedi Mei 98," tandasnya.