REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Antropologi di Universitas Padjadjaran, Bandung, Dede Mulyanto mengungkapkan, prostitusi yang melibatkan artis yang nota bene seorang publik figur anak-anak muda bukan lah fenomena baru. Pada zaman Hindi Belanda, para artis sudah mengisi tempat-tempat lokalisasi.
“Kayak seniman, Lekong, Nyai-nyai yang pandai berseni musik atau menyanyi dan lain sebagainya. Jadi bukan gejala baru lah,” kata dia kepada Republika, Selasa (12/05).
Tetapi, lanjut dia, fenomena itu terjadi bukan hanya di Indonesia saja. Di Jepang pun situasi ini terjadi. Contohnya, para Geisha yang semakin tinggi tingkatannya semakin mahal harganya.
“Geisha itu kan ada tiga tingkatan. Tingkat yang paling tinggi itu mereka yang harganya paling mahal dan mereka yang paling tahu seni-seni tradisional Jepang. Dan tidak sembarang orang bisa menjadi Geisha,” tambah dia.
Pada Sabtu (9/5), dini hari, petugas Polres Jaksel menangkap tangan RA dan seorang perempuan berinisial AA di sebuah hotel bintang lima. RA dikenal sebagai mucikari dari prostitusi kelas kakap. Sementara AA adalah seorang artis.
RA mematok harga minimal Rp 80-200 juta untuk satu perempuan penghibur. Harga itu untuk pelayanan tiga jam. Selain mematok harga yang fantastis, RA dan para perempuannya hanya menerima pelayanan di hotel berbintang.
Saat ini, pihak Polres Jakarta Selatan masih menyelidiki kasus prostitusi ini. Polres masih mengembangkan kasus untuk mengungkap jaringan yang lebih besar.