REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR - Tidak ada manusia di dunia ini lahir untuk dianiaya, dipukuli, disiksa, ditangkap dan dijual sebagai budak. Namun, kehidupan sulit itulah yang harus dihadapi oleh seorang Rohingya.
"Kami memiliki hak juga. Kami adalah manusia dan kami hanya ingin hidup. Mengapa semua orang menendang kami? jangan perlakukan kami seperti itu," ungkap Din salah salah seorang Rohingya yang telah tinggal di Malaysia selama 24 tahun.
Pria berusia 45 tahun itu menuturkan kisahnya selama menjadi budak Rohingya di Thailand. Ia datang pertama kali ke Thailand pada tahun 1991 setelah meninggalkan kampung halamannya di Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar.
Tidak ada pilihan lain selain meninggalkan negaranya karena konflik agama serta penindasan di sana. Bahkan aksi tersebut semakin memburuk pada tahun 2012 setelah kerusuhan Muslim-Buddha. "Kami tidak memiliki sarana untuk melanjutkan pendidikan. Kami juga tidak dapat bekerja," ujarnya.
Bahkan, sambung Din, pemerintah Myanmar tidak mau menerimanya kembali ke negaranya. Pemerintah Myanmar menolak untuk menerima Rohingya sebagai warga negara dan menganggap mereka imigran ilegal dari negara tetangga Bangladesh.
Sehingga tidak ada pilihan lain untuk mencari negara lain yang mau menerimanya. Nahasnya selama di Thailand ia justru diperlakukan sebagai budak. Tak tahan dengan perlakuan itu, ia seringkali mencoba untuk melarikan diri.
Bahkan, dengan aksi melarikan dirinya itu membuatnya enam kali merasakan hidup di balik jeruji besi di Malaysia, ia pun seringkali dikirim kembali ke Thailand. "Pada tahun 1995, saya ditahan dan dikirim kembali ke Thailand setelah beberapa bulan," jelasnya.
Namun, bukannya kebebasan yang ia dapatkan, ia justru kembali dijual menjadi budak kepada kelompok nelayan. Selama dua tahun ia mengabdi kepada para nelayan dan merupakan tahun terburuk dalam hidupnya. "Jangan tanya saya tentang mereka. Saya bisa gila bila mengingat waktu itu," katanya.
Ia pun bisa meloloskan diri dari cengkraman para nelayan dengan bantuan seorang wanita yang membantunya untuk bisa ke halte bus dan melakukan perjalanan ke Malaysia melalui jalur darat.
Saat ini, ia tinggal di Malaysia bersama istrinya, seorang perempuan Rohingya dan bayi mereka yang masih berusia tujuh bulan. Din pun sudah lancar berkomunikasi menggunakan bahasa melayu.
Pada tahun 2004 , Din mendapatkan kartu dari Komisi Tinggi PBB-nya untuk Pengungsi (UNHCR) , dengan kartu tersebut, sekarang ia bekerja sebagai pekerja sebuah lokasi konstruksi di Malaysia.
Din juga aktif berperan di pusat penahanan dengan organisasi non-pemerintah Kampanye Berhenti Melakukan Perdagangan Manusia di Penang.
Kelompok ini juga memberikan pasokan makanan untuk 1.158 Rohingya dan Bangladesh yang ditahan di Langkawai baru. Namun mereka tidak diizinkan oleh pemerintah.
Din berharap PBB dapat mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke Myanmar untuk mengatasi situasi konflik agama yang terus bergojalak.