REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Presiden Kenya Uhuru Kenyatta meminta pada pemimpin Burundi Lierre Nkurunziza, untuk menunda pemilihan umum (Pemilu) di negara tersebut. Ia meminta pemilu digelar setelah situasi kembali kondusif, setelah upaya kudeta gagal pekan lalu.
Juru bicara Kenyatta, Manoah Esipisu mengatakan pada Senin (18/5), kedua pemimpin telah berbicara melalui sambungan telepon pada Ahad (17/5). Sejumlah rekan Kenyatta, para pemimpin regional, juga telah memberikan pandangannya terkait hal ini.
Para pemimpin berharap tanggal pemilu berubah dari 26 Juni. Pemilu diharapkan dapat digelar dalam lingkungan atau situasi yang kondusif. Namun Esipisu mengatakan, pemilu tetap harus digelar untuk melanjutkan siklus pemerintahan.
Sementara itu di Bujumbura, Presiden Nkurunziza membuat penampilan pertamanya sejak kudeta pekan lalu. Nkurunziza mengeluarkan pernyataan singkat kepada wartawan di lobi kantor presiden, yang dijaga ketat pada Ahad pagi.
Namun dalam pernyataannya ia sama sekali tak menyinggung soal kudeta atau protes yang mengguncang Burundi. Padahal insiden itu setidaknya menewaskan 15 orang. Nkurunziza malah mengatakan, ia menghubungi presiden negara-negara Afrika terdekatnya untuk membahas ancaman dari ekstremis Islam Somalia, al-Shabab.
Selama ini Burundi, Kenya, dan Uganda mengirimkan kontribusi pasukan untuk pasukan Uni Afrika di Somalia yang memerangi al-Shabab. Para ekstremis telah membalas dengan melakukan serangan kekerasan di Kenya dan Uganda.
"Kalian tahu Burundi adalah salah satu negara yang menyumbang tentara di Somalia, itu mengapa saya ke sini untuk menghubungi rekan-rekan presiden saya di Kenya dan Uganda, negara-negara ini sedang ditargetkan oleh al-Shabab," kata Nkurunziza.
Ia mengatakan, tujunnya menghubungi sesama presiden adalah untuk menemukan strategi menghentikan ancaman terhadap keamanan Burundi.