REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalangan pelaku usaha menilai perpanjangan moratorium izin hutan alias Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 tahun 2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut akan kembali tak efektif pelaksanaannya. Hal tersebut mengingat belum banyaknya perubahan tata kelola hutan yang mestinya menyertai kebijakan moratorium tersebut.
“Perlu evaluasi menyeluruh terhadap efektifitas kebijakan moratorium yang seharusnya diikuti dengan pembenahan tata kelola hutan yang mendasar,” kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Irsyal Yasman pada Senin (18/5).
Penilaiannya bukan tanpa alasan. Berdasarkan hasil kajian Forest Watch Indonesia bertajuk “Potret Keadaan Hutan Indonesia 2009-2013”, deforestasi tercatat mencapai 4,58 juta hektare atau rata-rata 1,13 juta hektare per tahun. Dalam data disebut, deforestasi terluas terjadi di wilayah hutan yang tidak dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yakni seluas 2,26 juta hektare atau 49,46 persen dari total deforestasi pada periode tersebut.
Sementara, pada hutan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) deforestasi tercatat hanya 730.151 hektare atau 15,92 persen dari total deforestasi periode 2009-2013. Sisanya, deforestasi terjadi di wilayah perkebunan dan pertambangan.
Sementara itu, data Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga menunjukan laju deforestasi meningkat selama kebijakan moratorium dilaksanakan. Pada periode 2011-2012 laju deforestasi tercatat 471.613 hektare per tahun sementara pada tahun 2012-2013 laju deforestasi meningkat menjadi 727.981 hektar per tahun.
“Areal yang dikelola oleh pemegang izin terbukti relatif terkontrol laju deforestasinya di bandingkan areal yang tidak dibebani izin dan open access," kata Irsyal. Data tersebut juga menunjukan moratorium selama empat tahun terakhir belum efektif mencegah deforestasi dan degradasi hutan.
Hasil survey singkat APHI juga menunjukan sebagian besar areal yang tidak dibebani izin kini telah dirambah menjadi perkebunan, pertambangan dan pemukiman ilegal yang menjadi penyebab pembalakan liar dan kebakaran hutan dan lahan.
Pada intinya, kebijakan moratorium hutan telah berdampak pada terhambatnya pembangunan industri kehutanan berbasis hutan tanaman. Hal ini bertolak belakang dengan target luas hutan tanaman 14,5 juta hektare. Karena luas hutan tanaman baru berdasarkan data KLHK baru 2,7 juta hektare saja.
Negara, kata dia, mengalami potensial loss sebesar 71,88 miliar dolar AS apabila target dalam road map tersebut tidak tercapai. "Di tengah pertumbuhan ekonomi nasional yang lesu saat ini, investasi hutan tanaman di areal-areal open access mestinya harus didorong dan mendapat insentif," tutupnya.