REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menilai kubu Agung Laksono akan bersikap inkonsistensi bila mereka mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap sengketa Partai Golkar.
"Sebelum ada putusan,ereka sudah menyatakan kepada publik akan menerima apa pun putusan PTUN. Mengapa setelah kalah menyatakan hal sebaliknya. Kalau banding berarti tidak menerima putusan," kata Said Salahudin dihubungi di Jakarta, Selasa (19/5).
Said mengatakan kubu Agung Laksono memang berhak mengajukan banding sejak dalam putusan sela PTUN pada 1 April 2015 ditetapkan sebagai Pihak Ketiga atau Tergugat II Intervensi. Kubu Agung tidak berhak mengajukan banding bila dalam sidang gugatan tersebut hanya berstatus sebagai Saksi bagi Tergugat, yaitu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly.
"Namun, yang menjadi persoalan bukanlah soal hak banding, tetapi sikap inkonsisten dalam menyikapi putusan PTUN," ujarnya.
Menurut Said, inkonsistensi dari kubu Agung itu akan dicatat oleh publik. Hal itu akan menjadi pendidikan politik yang buruk bagi rakyat bila politisi tidak bisa memegang komitmennya. Majelis Hakim PTUN Jakarta mengabulkan sebagian gugatan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Bali atas surat keputusan Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Jakarta.
"Pengadilan memutuskan mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, dan menyatakan membatalkan surat keputusan Menkumham," kata Ketua Majelis Hakim PTUN Teguh Satya Bhakti dalam sidang pembacaan putusan, Senin (18/5).
Majelis Hakim PTUN yang terdiri atas Hakim Ketua Teguh Satya Bhakti serta dua hakim anggota yakni Subur dan Tri Cahya Indra Permana berkesimpulan untuk mewajibkan Tergugat dalam hal ini Menkumham menarik surat keputusan yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Ancol.
Sementara Tergugat intervensi, yaitu kubu Agung Laksono ditolak seluruh eksepsinya dan diwajibkan membayar biaya perkara pengadilan PTUN.