REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Pasukan Pertahanan Nasional pro-Pemerintah Suriah (NDF) pada Rabu (20/5) mundur dari Kota Kuno Palmyra di Suriah Tengah setelah serangan besar kelompok ISIS.
Stasiun televisi pemerintah Al-Ekhhariya mengatakan penarikan diri itu tersebut terjadi setelah pasukan pro-pemerintah mengungsikan warga Palmyra. ISIS mendatangkan bantuan untuk menyerbu bagian kuno di kota tersebut, tempat peninggalan arkeologi berada.
Kelompok oposisi Suriah, Observatorium bagi Hak Asasi Manusia menyatakan petempur ISIS hampir sepenuhnya menguasai seluruh Kota Palmyra di pinggiran timur Provinsi Homs, Suriah Tengah. Palmyra direbut setelah beberapa hari pertempuran sengit.
Direktur Jenderal Museum dan Barang Antik Suriah Mamoun Abdulkarim mengatakan pasukan pemerintah memindahkan semua barang kuno yang bisa dipindahkan dari Palmyra ke daerah aman. Namun, ia menyampaikan kesedihan yang mendalam mengenai nasib kuil kuno dan monumen yang tak bisa dipindahkan.
ISIS melancarkan serangan mereka terhadap Palmyra pada 13 Mei, dan merebut Kota Kecil Sukhneh dan Amiriyah selain ladang minyak Al-Hail dan Arak. Militer Suriah mengerahkan pasukan pendukung untuk mempertahankan Palmyra dan berhasil mendesak anggota ISIS ke luar daerah tersebut pada Rabu.
Palmyra berisi reruntuhan monumental satu kota besar yang pernah menjadi pusat kebudayaan paling penting pada jaman dulu. Dari Abad Pertama dan Kedua, seni dan arsitektur Palmyra yang berada di persimpangan beberapa peradaban, merupakan penggabungan teknik Yunani-Roma dengan tradisi setempat dan pengaruh Persia.
Suriah memiliki banyak warisan pra-sejarah, Yunani, Byzantium dan Islam. Sebelum krisis, Suriah telah menarik banyak misi arkeologi multinasional yang datang untuk mencari petunjuk baru mengenai fakta sejarah pembangunan peradaban.
UNESCO telah mendaftar beberapa tempat di Suriah di Daftar Warisan Dunia, termasuk Kota Tua Damaskus dan Aleppo, Kastil Al-Madhiq, Krak des Chevaliers, Kota Kuno Bosra dan Palmyra serta beberapa desa kuno di Suriah Utara.