REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembacaan Alquran berlanggam Jawa ternyata telah mendapatkan persetujuan dari ulama dari Al Azhar, Kairo, Mesir.
“Kita melakukan sesuatu ada landasannya, bukan karena Presidennya dari Jawa terus kita yang membaca tilawah pun menggunakan langgam Jawa,” kata Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama Rahman Mas’ud, Kamis (21/5).
Hal itu ia kemukakan untuk mengklarifikasi kontroversi tilawah langgam Jawa dari Surah Alquran An-Najm ayat 1 – 15 yang dibacakan oleh Yasser Arafat di Istana Negara, Jumat (15/5) lalu dalam acara Isra Mikraj yang dihadiri Presiden Joko Widodo dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
Landasan itu, menurut Mas’ud, sudah sangat jelas. Mayoritas ulama membolehkan, baik itu ulama internasional Al-Azhar, Kairo, Mesir dan ulama-ulama lokal seperti yang sudah dikonfirmasinya di pesantren-pesantren. Salah satunya, dari pesantren Yambuul Qur’an Kudus yang diasuh Gus Ulin Nuha dan Gus Albab.
“Yang saya temui adalah Gus Albab,” ujar Mas’ud
Pandangan dari Gus Albab juga tidak mempermasalahkan langgam tersebut. Selama ayat Alquran yang dibacakan dengan langgam tertentu tidak mengurangi kekhusyukan, tidak menyalahi aturan tajwid, dan tak merusak makhrojul huruf.
“Buka surat Al-Muzammil ayat empat, ‘bacalah Alquran dengan tartil’ dengan tartil berarti dengan ketenang, dengan kekhusuan, masuk dalam hati dan mampu memahami dan meresapinya,” kata Mas’ud.
Menurut Mas’ud, selama Alquran dibaca dengan tartil, maka menggunakan alunan apapun seharusnya tidak ada larangan. Menurutnya, Alquran adalah membumi, bukan saja di Arab, namun ada juga di Medan, Jawa, Maroko, dan akan ditunggu langgam-langgam selanjutnya, seperti dari Bugis dan Sumatra.