Jumat 22 May 2015 03:31 WIB

Pengamat: Politisi Berebut Kuasa, Kok Kita yang Ribut?

Rep: C14/ Red: Ilham
Saldi Isra
Saldi Isra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum tata negara, Saldi Isra memandang mubazir rencana revisi UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bila dilakukan hanya untuk mengakomodir partai-partai yang berdualisme kepengurusan. Menurut Saldi, rencana revisi UU Pilkada sebaiknya mempertimbangkan kepentingan nasional, bukan karena kalangan elite dari partai tertentu.

"Biarkan saja. Orang-orang itu yang berebut mahkota, kita yang ribut?" ucap Saldi Isra saat ditemui di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (21/5).

Saldi menyebut, terkait dualisme Partai Golkar, putusan PTUN Jakarta bisa menjadi dasar bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memutuskan kepengurusan partai yang akan ikut gelaran Pilkada tahun ini. Namun, ketika putusan itu digugat kembali, situasi kembali berlarut-larut.

Menurut Saldi, semestinya dibuat aturan tegas dari KPU, bukan bahwa sebuah UU direvisi untuk semakin membuat rintangan menjelang Pilkada. "Bagaimana caranya, kalau mereka mau ikut pemilu, mereka harus damai. Itu kan salah satu fungsi hukum. Jadi kalau mereka tidak bisa berdamai, sudah," ujar dia.

"Itu cara untuk memaksa mereka. Janganlah orang bertengkar, lalu difasilitasi oleh produk hukum (UU). Itu kan enggak bagus," sambung dia.

Merevisi UU Pilkada pun, tegas Saldi, sama sekali tidak akan memecahkan masalah dualisme kepengurusan ataupun keikutsertaan partai dalam Pilkada 2015. Sebab, itu hanya akan melahirkan kontroversi baru. Revisi akan menunjukkan cara berpolitik yang tak kunjung dewasa.

"Sekarang kalau dibuat norma (hukum) baru untuk menampung, pasti ada pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan. Bagaimana mau mengurus rakyat, kalau mereka bertengkar saja enggak bisa menyelesaikan sendiri?" pungkas dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement