REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan ini, masyarakat dihebohkan dengan qari yang membaca Alquran dengan menggunakan langgam Jawa. Hal itu menjadi polemik lantaran pembacaannya dilakukan dalam peringatan Isra Miraj di Istana Negara, dan disiarkan stasiun televisi.
Dampaknya, para ulama tidak satu suara soal pembacaan Alquran dengan gaya pembawaan sinden ketika tampil di panggung tersebut. Ulama sekaligus ahli tafsir terkemuka Quraish Shihab akhirnya ikut buka suara. Alumnus Universitas Al Azhar, Mesir tersebut menjawab pro kontra soal pembacaan Alquran dengan langgam Jawa.
Berikut penjelasan mantan menteri agama tersebut:
Beberapa hari belakangan ini terdengar banyak pembicaraan menyangkut bacaan Alquran dengan langgam Jawa. Ada yang menerima dengan baik, ada juga yang menolak, bahkan ada yang mengecam dan menuduh dengan tuduhan yang keji.
Tidak dapat disangkal bahwa ada tatacara yang harus diindahkan dalam membaca Alquran, misalnya tentang di mana harus/boleh memulai dan berhenti, bagaimana membunyikan huruf secara mandiri dan pada saat pertemuannya dengan berbagai huruf dalam satu kalimat, dan lain-lain. Inilah syarat utama untuk penilaian baik atau buruknya satu bacaan. Nah, bagaimana dengan langgam atau nadanya?
Hemat penulis, tidak ada ketentuan yang baku. Karena itu, misalnya, kita biasa mendengar qari dari Mesir membaca dengan cara yang berbeda dengan nada dan langgam qari dari Saudi atau Sudan. Atas dasar itu, apalah salahnya jika qari dari Indonesia membacanya dengan langgam yang berbeda selama ketentuan tajwidnya telah terpenuhi? Bukankah Nabi saw. menganjurkan agar Alquran dibaca dengan suara merdu dan langgam yang baik, tanpa menentukan langgam tertentu? Nah, jika langgam Jawa dinilai baik dan menyentuh bagi orang Jawa atau Bugis bagi orang Bugis, dan lain-lain, maka bukankah itu lebih baik selama ketentuan bacaan telah terpenuhi?
Memang ada riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi saw. yang menganjurkan agar Alquran dibaca dengan langgam Arab. Konon beliau bersabda: “Bacalah Alquran dengan langgam Arab dan “suara” (cara pengucapan) mereka; jangan sekali-kali membacanya dengan langgam orang-orang fasiq dan dukun-dukun. Nanti akan datang orang-orang yang membacanya dengan mengulang-ulangnya seperti pengulangan para penyanyi dan para pendeta atau seperti tangisan orang yang dibayar untuk menangisi seorang yang meninggal dunia….”
Hadits tersebut kalaupun dinilai shahih, maka itu bukan berarti bahwa langgam selain langgam Arab beliau larang. Bukankah beliau menganjurkan untuk membaca dengan baik dan indah, apalagi sementara pakar hadits menilai riwayat yang diriwayatkan oleh an-Nasa’iy al-Baihaqy dan at-Thabarani di atas lemah karena dalam rangkaian perawinya terdapat Baqiyah bin al-Walid yang dikenal lemah dalam riwayat-riwayatnya. Demikian, wa Allah A’lam.