REPUBLIKA.CO.ID, AUSTRALIA SELATAN -- Sebanyak delapan guru dari berbagai daerah terpencil di Indonesia berkesempatan mengunjungi Australia demi pengembangan profesi. Pengalaman menginjakkan kaki di Australia untuk pertama kali, membuka mata mereka. Tiga guru membagi ceritanya berikut ini.
Tiga guru asal daerah terpencil di Indonesia yakni Martina Portate, Williams Neju, dan Saryoh berkesempatan mengunjungi sekolah dasar di Australia Selatan. Selama 26 April-4 Mei 2015, mereka dilatih dan diperkaya wawasannya seputar strategi pengelolaan sekolah.
Martina Portate asal Sikka, NTT
Martina Portate, guru SDI Bloro, Sikka, Nusa Tenggara Timur.
Martina Portate telah menjadi guru selama 29 tahun. Selama itu pula ia tak pernah membayangkan punya kesempatan untuk mengunjungi Australia, yang hanya didengarnya dari radio. Guru di SD Inpres Bloro, Kabupaten Sikka, ini mengaku kaget saat dirinya ditunjuk untuk mengikuti pelatihan pengembangan profesi di Australia Selatan.
“Sebelum pergi, saya punya bayangan-bayangan tentang Australia. Awalnya saya takut, saya bertanya-tanya, orang-orangnya baik-baik atau tidak?. Macam-macam sekali yang ada di pikiran saya,” tuturnya kepada wartawan Nurina Savitri dari Australia Plus.
Kekhawatiran Martina akhirnya tak terbukti. Perempuan berusia setengah abad ini mengaku, ia disambut dengan hangat di negeri kanguru.
Terlebih selama di sana, ia ditemani beberapa warga Indonesia dari lembaga ‘Knowledge Exchange Australia’. Ia pun menuturkan, apa yang ada di bayangannya tentang Australia, ternyata berbeda.
“Saya tidak menyangka daerahnya begitu nyaman dan tidak ada hiruk pikuk. Sepertinya kalau lihat TV, negara Barat itu ramai sekali,” ujar ibu 3 anak yang baru pertama kali ke luar negeri ini.
Martina lantas menyampaikan kekagumannya atas budaya bersih yang ia rasakan selama di Australia. Menurutnya, kebersihan harus diterapkan di sekolah sejak usia dini.
“Saya yakin siswa Indonesia bisa menerapkan pola hidup bersih di sekolah, walau kita harus bekerja keras untuk menuju ke sana,” harap lulusan Universitas Pattimura ini.
Ia juga menyebut budaya disiplin waktu di antara siswa Australia sebagai salah satu hal yang seharusnya lebih dikembangkan di tanah air, selain keberanian para siswa.
“Kalau secara garis besar, di Australia dan di sini sama-sama punya pendidikan dasar 9 tahun. Tapi sistem pembelajaran mereka berbeda. Menurut saya di sana lebih tuntas dan anak-anak betul diperhatikan. Siswa di sana berani mengungkapkan, berani bertanya apa yang tidak dimengerti, ” ungkap perempuan paruh baya ini.
Martina lantas menceritakan pengalamannya di awal-awal masa mengajar yang ia lalui penuh perjuangan.
“Dulu, dari tempat tinggal saya, saya harus lewat jalan setapak, melewati kali, menempuh jarak 4-5 jam untuk sampai ke sekolah. Itu saya jalani selama 2 tahun. Tapi kemudian saya lelah, akhirnya saya pindah ke dekat sekolah,” kenangnya.
Tak heran ia sempat terkecoh ketika mengetahui Wallaroo- salah satu lokasi sekolah yang ia kunjungi -yang disebut warga lokal sebagai ‘desa’, ternyata sebuah daerah yang, menurut Martina, memiliki infrastruktur lengkap.
Karena itu, ia lantas bermimpi agar semua sekolah di Indonesia memiliki sarana-prasarana yang sama di tiap daerah, tak membedakan itu desa ataupun kota.
Pengalaman lain yang tak akan dilupakan Martina selama kunjungannya ke Australia adalah soal makanan.
“Awalnya terasa lain, kami makan roti, daging, keju, buah. Dua hari pertama kami makan itu. Tapi lalu kami mulai tanya ‘bisakah kami makan nasi?’. Akhirnya mulai hari ke-3 kami diberi makanan Indonesia,” ujarnya sambil tertawa.
Martina mempunyai keinginan untuk kembali ke Australia dan menjalani masa pelatihan lebih lama.
Williams Neju Amarduan asal Maluku Tenggara Barat, Maluku
Williams Neju Amarduan, guru SD Kristen Eliasa, Pulau Selaru, Maluku Tenggara Barat.
Seperti halnya Martina, kunjungan ke Australia adalah pengalaman pertama Williams Neju Amarduan keluar Indonesia. Guru yang mengajar di SD Kristen Eliasa, Maluku Tenggara Barat, ini mengungkapkan keterkejutannya saat pertama mendarat di benua kanguru.
“Suhu udaranya beda, lebih dingin. Begitu keluar bandara saya lebih kaget lagi, karena ketertibannya luar biasa, lalu lintasnya juga teratur,” sebutnya.
Pria asli Pulau Selaru ini mencermati beberapa hal dari sistem pendidikan dan budaya belajar-mengajar di Australia.
“Guru-gurunya santai tapi serius dalam melakukan pekerjaan, sementara di Indonesia, kita lebih terbiasa dengan budaya formal. Seperti misalnya dalam rapat, di sana suasananya tidak terlalu tegang,” tutur lulusan Universitas Pattimura, Ambon, ini.
Menurutnya, fasilitas pembelajaran di negeri kanguru juga sudah maju. Senada dengan Martina, Williams juga ingin agar pemerintah Indonesia memperhatikan infrastruktur pendidikan.
“Selain pembenahan kurikulum yang harus dilakukan di Indonesia, kita bisa mencontoh fasilitas belajar yang ada di Australia. Mudah-mudahan sekolah-sekolah di sini, baik itu di kota maupun dikampung, bisa disamakan fasilitasnya,” kemuka guru yang mengaku mampu berbahasa Inggris sedikit-sedikit ini.
Ia kemudian menyampaikan gagasannya seputar pendidikan di Nusantara.
“Saya ingin di Indonesia budaya hidup bersih lebih digalakkan, seperti di Australia. Misalnya di sekolah itu harus dibiasakan membuang sampah pada tempatnya. Terus kemudian yang saya perhatikan juga dari sana itu, mereka terbiasa membuat slogan-slogan positif yang memotivasi siswa. Nah, ini kan bisa diterapkan di Indonesia,” sebut guru kelas 6 ini.
Tapi Williams memaklumi, urusan infrastruktur adalah pekerjaan rumah Indonesia yang perlu diatasi. Ia lantas mengilustrasikan kondisi transportasi di tempat tinggalnya.
“Dari desa saya saja, kalau mau ke kecamatan harus menempuh jarak 5 jam dengan motor laut, kalau mau ke kabupaten, jarak yang ditempuh 74 kilometer dan itu menghabiskan waktu 9-12 jam dengan motor laut. Ya kalau mau seperti di Australia memang harus bertahap. Saya yakin bisa,” ujarnya.
Saking terkesannya dengan pengalaman selama di Australia, ia memiliki keinginan untuk melanjutkan studi pasca sarjana di negeri Kanguru.
“Saya ingin sekali melanjutkan sekolah di luar negeri, di Australia. Saya ingin melanjutkan studi ke jenjang S2,” ucapnya.
Meski demikian, bagi Williams, seenak-enaknya hidup di negeri tetangga, tak ada yang bisa mengalahkan makanan Indonesia.
“Kalau soal makanan, saya merasa sedikit canggung, bagaimanapun di tanah air jauh lebih nikmat,” akunya jujur.
Saryoh asal Kuningan, Jawa Barat
Saryoh dari SD Negeri II Situgede, Kuningan, Jawa Barat.
Perempuan berjilbab ini telah menjadi guru sejak tahun 2004. Ia mengajar mata pelajaran PPKn dan sekaligus menjadi kepala sekolah di SD Negeri II Situgede, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Pengalaman kedua rekannya saat sampai di Australia pertama kalinya, juga dirasakan Saryoh.
“Aduuh...saya merasa gimana gitu, sempat kaget, bersihnya itu..ya ampun. Terus orang-orangnya, kalau di TV kan sepertinya gimana ya, sombong-sombong tapi kenyataannya jauh dari perkiraan. Ternyata di sini semua sopan-sopan. Alhamdulillah orangnya baik-baik,” kemuka perempuan berusia 50 tahun ini kepada ABC.
Ia merasa senang memiliki kesempatan untuk menjelajahi negeri di luar Indonesia.
“Saya pergi ke luar negeri hanya pernah umroh, nah pengalaman ke Australia ini sangat saya syukuri. Saya senang sekali walau kedinginan,” ungkapnya sambil bergurau.
Seperti halnya Martina, Saryoh juga kagum akan budaya kritis yang berkembang di lingkungan sekolah negeri kanguru.
“Di sini saya bisa melihat kalau anak-anaknya sangat berani. Berani bertanya di kelas. Kalau di Indonesia, masih banyak yang suka malu-malu. Tapi ya walaupun berani, saya rasa siswa-siswa di Australia masih punya etiket,” kemukanya.
Menurut Saryoh, walau banyak yang bisa dipelajari dari Australia, ia merasa ada beberapa hal yang juga bisa dipelajari anak-anak Australia dari siswa Indonesia.
“Saya rasa dari sekolah yang saya kunjungi, ada beberapa anak Australia yang ingin seperti anak Indonesia. Karena menurut mereka, kurikulum di Indonesia itu kan memuat banyak pelajaran, seperti dijejalkan begitu, jadi anak Indonesia banyak mengertinya,” urainya.
Ia lalu mencontohkan banyaknya siswa Indonesia yang menjuarai lomba-lomba akademis sebagai keunggulan pendidikan Indonesia.
Terlepas dari urusan pendidikan, bagi Saryoh, pengalaman paling berkesan selama di Australia adalah urusan lalu lintas.
“Yang paling saya ingat adalah jalanannya yang bebas macet. Kalau dibandingkan dengan durasi yang saya tempuh dari Kuningan ke Jakarta misalnya, wah jauh sekali. Saya dari rumah melalui banyak macet untuk sampai ke Bandara. Di Australia sungguh tenang,” utaranya.
Pelatihan peningkatan kualitas guru yang dijalani Martina, Williams dan juga Sarryoh difasilitasi oleh lembaga non-profit 'Knowledge Exchange Australia' yang dimotori oleh beberapa warga Indonesia di Australia. Program ini dilaksanakan bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Australia Selatan.