REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan penyidik independen untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap melanggar aturan hukum yang berlaku. Malah, penggunaan penyidik di luar aturan perundangan akan berimplikasi negatif terhadap proses hukum di KPK itu sendiri.
"KPK menyebutnya penyidik independen, mereka awalnya adalah penyidik dari Polri yang sudah mengundurkan diri. Ini melanggar KUHAP," kata pengamat hukum Y Prapto Wiradi, Senin (25/5).
Konsekuensinya, kata dia, KPK bisa dikalahkan di praperadilan, karena penyidik yang digunakan bukan penyidik resmi. Karena bukan penyidik resmi, tambahnya, hasil penyidikannya juga tidak sah sesuai aturan hukum. "Kalau penyidiknya tidah sah secara hukum, hasilnya juga tidak sah secara hukum. Latas bagaimana KPK mempertanggungjawabannya secara hukum," ungkap dia.
Menurutnya, penyidik menurut pasal 1 butir 1 KUHAP adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia, atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Dalam pasal 6 ayat (1) KUHAP dikemukakan, penyidik adalah: (a) Pejabat polisi negara Republik Indonesia; (b) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
"Di sini KPK memakai dasar lex spesialis dengan adanya UU Kelautan, PPNS dan lain-lain, bahwa selain penyidik Polri ada penyidik lain," kata Prapto Wiradi. "Makanya, penyidik yang sudah mengundurkan diri dari penyidik Polri, itu melanggar KUHAP," katanya.
KPK, kata dia, seharusnya mengetahui, bahwa ada aturan hukum yang menyatakan untuk tidak merekrut penyidik dari luar Polri dan kejaksaan. "Aturan hukumnya kan memang penyidik KPK hanya dari Polri dan kejaksaan. Bukan yang lainnya. Kalau itu dilakukan KPK, berarti KPK melanggar hukum," kata dia.