REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti menegaskan Polri terus memburu gembong kelompok teroris Santoso dan Basri.
Namun, upaya penangkapan pentolan kelompok Mujahidin Indonesia Timur tidak akan dilakukan dengan cara sembarangan, yang justru bisa membahayakan masyarakat.
Badrodin mengakui, keberadaan Santoso di hutan menjadi hambatan tersendiri bagi Polri untuk melakukan penangkapan. Meskipun dua hari lalu, Polri berhasil menangkap dua kurir jaringan kelompok Santoso.
"Memang karena di hutan luas," ujarnya, di Mabes Polri, Selasa (26/5).
Penangkapan terhadap Santoso, kata Badrodin, tidak bisa dilakukan dengan menggunakan cara sayembara untuk memudahkan informasi keberadaan Santoso. Sebab, Badrodin tidak menginginkan korban terjadi kepada masyarakat.
"Tidaklah, saya takut nanti kalau sayembara malah masyarakat jadi korban," ucapnya.
Terkait dua kurir kelompok Santoso, Badrodin menjelaskan, hal tersebut terkait pengiriman amunisi 600 lebih butir peluru. Amunisi tersebut dibawa dari Sulawesi Selatan (Sulsel) ke Palu lalu ke Poso.
"Pada saat penyerahan itu, terjadi kontak tembak sehingga dua meninggal," katanya.
Selanjutnya, senjata yang ikut diamankan berasal dari berbagai sumber baik dari Dalam Negeri maupun Luar Negeri. Beberapa kali polisi menemukan senjata asal Filipina.
Sebelumnya, Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Agus Rianto menjelaskan, pada Ahad (24/5) pukul 18.45 WITA terjadi baku tembak antara polisi dengan kelompok Santoso di Pegunungan Desa Gayatri, Poso Pesisir Utara. Dua orang tewas dari kelompok Santos dan dua polisi luka-luka.
Selain itu, dalam baku tembek tersebut, beberapa barang bukti juga diamankan yaitu satu senjata api m16 dan dua bahan magazane m 16. Disamping itu, 20 butir amunisi dengan panjang 5,56 mm, dua bom rakitan dan satu golok.