REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putusan hakim tunggal Haswandi dalam sidang praperadilan Hadi Poernomo dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam putusan hakim, penyelidik dan penyidik KPK yang menangani kasus mantan dirjen Pajak itu dianggap tidak sah karena bukan berasal dari Polri atau kejaksaan.
Menurut pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Akhyar Salmi, putusan ini akan melahirkan masalah baru. Tidak menutup kemungkinan semua yang pernah terlilit kasus di KPK dengan disidik oleh penyidik yang tidak berasal dari kepolisian atau kejaksaan akan mengajukan gugatan dengan alasan tersebut.
"Bisa saja mereka semua mengajukan PK (peninjauan kembali). Bisa mondar-mandir saja kerjaan KPK mengurus itu semua," kata dia saat dihubungi Republika, Rabu (27/5).
Menurutnya, putusan hakim Haswandi dalam sidang praperadilan mantan dirjen Pajak Hadi Poernomo telah mengacaukan sistem hukum. Apalagi, kata dia, dalam putusannya hakim meminta KPK untuk menghentikan penyidikan terhadap Hadi. Padahal KPK tidak memiliki instrumen hukum untuk menghentikan penyidikan.
"Ini bisa merupakan keputusan yang menjadi awan mendung dalam pemberantasan korupsi. Ruang untuk pemberantasan korupsi semakin sempit," ujar dosen Fakultas Hukum UI ini.
Menurut Akhyar, putusan hakim yang memerintahkan KPK menghentikan penyidikan terhadap Hadi merupakan bentuk pengubahan terhadap undang-undang. Sebab, kata dia, dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK telah jelas bahwa lembaga antikorupsi ini tidak dibenarkan menghentikan penyidikan.
Harusnya, kata Akhyar, praperadilan hanya menguji proses penetapan tersangka terhadap seseorang. Jika memang ada kesalahan prosedur dalam penetapan tersangka, maka yang dibatalkan adalah surat perintah penyidikan (sprindik), bukan meminta menghentikan penyidikan.
"Dua hal itu berbeda dalam bahasa hukum. Kalau hakim meminta KPK membatalkan penyidikan terhadap tersangka, jadi kacau semua ini dunia persilatan," ujar dia.