REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Indonesia telah berupaya dengan berbagai cara mengendalikan kerusakan ekosistem gambut, mulai dari tingkat global, regional, nasional, sampai daerah. Betukya mulai dari komitmen penguranan emisi 26-41 persen hingga 2020, ratifikasi Asean Agreement on Transboundary Haze Pollution, dan kebijakan moratorium hutan alam primer dan lahan gambut.
"Penerbitan berbagai kebijakan hanya satu instrumen. Tanpa kerja sama dan komitmen berbagai pihak, pengelolaan ekosistem gambut berkelanjutan tidak akan terwujud," kata Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Arief Yuwono dalam Workshop Nasional Kebijakan dan Tata Kelola Lahan Gambut Indonesia di Bogor, Rabu (27/5).
Workshop ini melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan, seperti Wetlands International Indonesia, kalangan dunia usaha, praktisi, peneliti, dan lembaga swadaya masyarakat. Masing-masingnya memberikan rekomendasi dan alternatif solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam pengelolaan lahan gambut di Indonesia.
Arief mengatakan kerusakan lahan gambut dimulai sejak dua dekade lalu, dan saat ini kerusakan serta dampaknya dalam kondisi sangat memprihatinkan. Kerusakan tersebut bukan hanya karena hilangnya vegetasi di atas gambut, namun juga pengurasan air gambut secara berlebih melalui saluran-saluran yang ada.
Lahan gambut di Sumatra, Kalimantan dan Papua pada umumnya terletak di dataran rendah kurang dari 80 kilometer dari pantai dan berada pada elevasi kurang dari 20 meter dari permukaan laut. Oleh sebabya, lahan gambut di Indonesia sangat rentan terhadap genangan akibat adanya kenaikan muka air laut yang rata-rata tiga milimeter per tahun.