REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai putusan hakim tunggal Haswandi, yang mengabulkan gugatan praperadilan Hadi Poernomo atas penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah inkonsisten.
"Hakim Haswandi bukan kali ini saja memutus perkara tindak pidana korupsi. Sebelumnya ia telah memutuskan kasus korupsi Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum," ujar peneliti hukum ICW, Lalola Easter di Jakarta, Rabu (27/5).
Hakim Haswandi pada Juli 2014 diketahui telah menjatuhkan vonis hukuman 4 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan kepada mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng.
Andi terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek Pembangunan Lanjutan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang.
Sedangkan putusan terhadap Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum ditetapkan Haswandi pada September 2014 dengan vonis 8 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp57,59 miliar dan 5,26 juta dolar AS.
Anas dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah dari sejumlah proyek-proyek pemerintah dan tindak pidana pencucian uang.
Ia mengatakan, jika dikaitkan dengan putusan Haswandi dalam mengabulkan praperadilan Hadi Poernomo karena menganggap penyelidik dan penyidik KPK tidak berwenang melakukan proses penyelidikan dan penyidikan, maka hakim Haswandi tidak konsisten terhadap dua putusan sebelumnya.
"Sebelumnya ia sama sekali tidak mempermasalahkan status penyelidik dan penyidik KPK yang menangani kasus Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum," jelasnya.
Selain itu, menurut dia, dalam memutus praperadilan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu, Haswandi dinilai telah melakukan penyelundupan hukum karena mengabaikan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang bersifat "lex specialis" terhadap KUHAP.
"Keabsahan penyelidik KPK sudah diatur dalam Pasal 43 ayat 1 UU KPK, sedangkan ketentuan tentang penyidik KPK telah diatur dalam Pasal 45 ayat 1 UU tersebut. Hakim Haswandi melakukan penyelundupan hukum karena dia memberatkan pada KUHAP, padahal KUHAP hanya dipakai bila ada ketentuan yang tidak diatur dalam UU KPK," ujarnya.
Pasal 43 dan 45 UU KPK tersebut pada pokoknya mengatur bahwa penyelidik dan penyidik pada KPK merupakan penyelidik dan penyidik yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Sedangkan hakim Haswandi beranggapan bahwa penyelidik dan penyidik pada KPK harus berstatus sebagai penyelidik dan penyidik di institusi
Sebelumnya baik itu Polri maupun Kejaksaan, merujuk pada Pasal 4 dan 6 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Hakim Haswandi yang merupakan Ketua PN Jakarta Selatan itu pun menambahkan bahwa KPK tidak berwenang mengangkat penyelidik atau penyidik independen.
Kecuali bila yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diatur dalam PP Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan KUHAP yang diantaranya mensyaratkan bahwa seseorang harus memenuhi masa kerja minimal dua tahun sebelum diangkat menjadi PPNS di institusi tersebut.