REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Oleh A Ilyas Ismail
Pada suatu hari, Rasulullah SAW sedang ditemani banyak sahabat. Tiba-tiba, lewat jenazah diantar menuju ke pemakaman. Rasulullah berdiri, seperti memberi hormat.
Disampaikan kepada beliau bahwa jenazah itu orang Yahudi, tak pantas memperoleh penghormatan. Namun, Nabi balik bertanya, “Alaisat nafsan (bukankah ia juga manusia)?" (HR Bukhari dan Muslim).
Riwayat ini dikutip oleh Syekh Qardhawi sebagai salah satu contoh toleransi Islam. Dikatakan, toleransi adalah sikap menghormati dan menghargai adanya perbedaan-perbedaan, baik pendapat, pemikiran, agama, dan adat istiada (budaya). Toleransi selanjutnya bermakna membangun hubungan yang baik dengan sesama manusia (hablun minannas).
Dalam Alquran ditemukan banyak contoh soal teleransi. Dalam kontes keluarga, misalnya, disebutkan apabila kedua orang tua kita menyuruh kepada agama lain (kemusyrikan), kita tidak boleh mematuhinya karena dalam Islam tiada kepatuhan kepada makhluk apabila durhaka kepada khalik. Namun demikian, kita disuruh tetap membangun hubungan yang baik dengan kedua orang tua (baca: QS Luqman [31]: 15).
Dalam konteks kemasyarakat lebih luas, disebutkan bahwa orang-orang yang mulia berkenan memberi bantuan dan donasi kepada orang-orang lemah, orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (QS al-Insan [76]: 8). Yang dimaksud dengan orang yang ditawan ketika ayat ini turun tentu adalah kafir Quraisy Mekah yang bukan hanya berbeda agama, melainkan musuh yang sangat anti Islam. Begitupun, Allah SWT meminta Nabi dan kaum Muslim agar memperlakukan tawanan perang dengan santun.
Toleransi Islam, menuret Qardhawi, berakar pada empat prinsip. Pertama, prinsip keragaman, pluralitas (al-ta`addudiyah). Keragaman sejatinya merupakan watak alam, dan bagian dari sunanatullah. Orang Muslim, kata Qardhawi, meyakini Keesaan Allah (al-Khalik) dan keberagaman ciptaan-Nya (makhluk). Dalam keragaman itu, kita disuruh saling mengenal dan menghargai. (QS al-Hujurat [43]: 13).
Kedua, prinsip bahwa perbedaan terjadi karena kehendak Tuhan (waqi` bi masyi’atillah). Alquran sendiri menegaskan bahwa perbedaan agama karena kehendak-Nya. Allah SWT tentu tidak berkehendak pada sesuatu kecuali ada kebaikan di dalamnya. Kalau Allah menhendaki maka semua penduduk bumi menjadi Islam. Namun, hal demikian tidak dikehendaki-Nya. (QS Yunus [10]: 99).
Ketiga, prinsip yang memandang manusia sebagai satu keluarga (ka usrah wahidah). Semua orang, dari sisi penciptaan, kembali kepada satu Tuhan, yaitu Allah SWT, dan dari sisi nasab, keturunan, ia kembali kepada satu asal (bapak), yaitu Nabi Adam AS. Pesan ini terbaca dengan jelas dalam surah al-Nisa ayat 1 dan dalam dekalrasi Nabi SAW yang amat mengesankan pada haji wada`.
Keempat, prinsip kemuliaan manusia dari sisi kemanusiannya (takrim al-Insan li-insaniyyatih). Manusia adalah makhluk tertingi ciptaan Allah, dimuliakan dan dilebihkan atas makhluk-makhluk lain (QS al-Isra [17]: 70), dan dinobatkannya sebagai khalifah (QS al-Baqarah [2]: 30). Penghormatan Nabi kepada jenazah Yahudi dilakukan semata-mata karena kemanusiannya, bukan warna kulit, suku, atau agamanya.
Toleransi Islam diajarkan dalam konteks sosial, bukan vertikal dengan satu tujuan, yaitu mewujudkan rasa aman dan damai. (QS Quraisy [106]: 3-4). Wallahu a`lam!