REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Aslam Kalyubi menyatakan kebijakan pemerintah untuk memberlakukan pungutan ekspor CPO sebesar 50 dolar AS per ton akan mengancam keberlangsungan usaha biodiesel nasional. Aslam menyebut, khususnya bagi pengusaha yang tidak memiliki kebun, maka mereka tidak memiliki kuasa untuk mengontrol harga.
"Secara umum bahwa ini akan mengarah pada matinya perusahaan biodiesel yang tidak punya kebun karena harga terlalu rendah," ujar Aslam, Kamis (28/5).
Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi memberlakukan aturan pungutan ekspor kepada seluruh pengusaha sawit sebesar 50 dolar AS per ton dan 30 dolar AS untuk produk turunan CPO (crude palm oil).
Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM Ridha Mulyana menyebut, kebijakan ini secara resmi tertuang dalam PP nomor 24 tahun 2015 serta Perpres nomor 61 tahun 2015.
"Pungutan atau dana itu dikelola Badan Layanan Umum yang berafiliasi ke kementerian mana, Kemenkeu. Di situ ada pimpinannya siapa, dewan pengawasnya siapa," jelas Ridha usai menghadiri Musyawarah Nasional Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, Kamis (28/5).
Dengan berlakunya kebijakan pungutan ekspor ini, diharapkan program peningkatan kandungan nabati pada produk BBM bisa berjalan lancar. Perlu diketahui pada 2016 mendatang, pemerintah berniat menaikkan angka nabati dalam diesel dari 15 persen (B15) menjadi 20 persen (B20).