REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pelaksana Tugas Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri (BHI Kemenlu), Lalu Muhammad Iqbal menyatakan, penemuan kasus jual beli manusia semakin meningkat.
"Ini pun hanya yang diketahui oleh KBRI dan KJRI. Saya pikir jumlah kasus sebenarnya jauh lebih tinggi dari ini," ujarnya di Hotel Ambarukmo pada Press Conference Pelatihan Identifikasi Perdagangan Manusia, Ahad (31/5).
Berdasarkan data Kemenlu, terjadi peningkatan 56 persen kasus trafficking. Pada 2013 sebanyak 186 kasus, menjadi 365 kasus di tahun 2014. Hingga bulan Mei 2015, ada 196 kasus jual beli WNI di luar negeri. Ia memperkirakan angka tersebut akan terus bertambah sampai akhir tahun nanti.
Menurut Lalu, ada perbedaan tren latar belakang dari kasus jual beli manusia saat ini. Dulu mereka dijual untuk dijadikan objek prostitusi. Sekarang polanya mereka dijual sebagai pembantu rumah tangga, anak buah kapal (ABK), dan pekerja kasar lainnya. Bahkan sudah banyak korban trafficking dari kalangan laki-laki.
"Bulan lalu saya dari Myanmar mengurusi 55 ABK WNI yang dipenjara karena ilegal fishing. Mereka semua laki-laki dan korban trafficking," kata Lalu.
Ia menyampaikan, dalam kasus ini para ABK tidak berhak ditahan, karena mereka berstatus sebagai korban jual beli manusia. Oleh karena itu Kemenlu meminta pemerintah Myanmar melakukan peninjauan penahanan mereka.
Masalah trafficking WNI lainnya pun sering terjadi di Timur Tengah. Dimana mereka bekerja tanpa digaji dan dieksploitasi secara habis-habisan. Untuk meurunkan kasus tersebut, Kemenlu menyelenggarakan pelatihan identifikasi perdagangan manusia bagi para diplomat dan lembaga terkait.
"Berdasarkan Undang-undang nomor 21 tahun 2007, proses pemulangan WNI adalah tanggung jawab negara," tutur Lalu menjelaskan. Selain itu, ia menambahkan, pemerintah akan memidanakan perusahaan yang terlibat dalam kasus perdagangan manusia sebagai tindak tegas atas kejahatannya.