Oleh: Iu Rusliana
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Perbedaan pendapat itu sifatnya alamiah. Setiap orang memiliki pengalaman, pengetahuan, dan sikap yang kadang berbeda. Hanya saja, perbedaan itu harus dibingkai komunikasi yang santun, mendorong pada dialog yang terbuka, dan tetap memelihara sikap menghargai satu sama lain. Kebenaran yang disampaikan, tapi bila caranya salah, dengan sikap yang arogan dan ingin menang sendiri, akan diterima salah.
Rasulullah SAW mencontohkan bagaimana beliau menghargai setiap perbedaan dan bila pun ada kekeliruan, meluruskannya dengan lemah lembut. Tak pernah ada cacian dan hinaan terucap, bahkan kepada musuhnya yang membencinya sekalipun. Perdebatan yang dilakukannya selalu terpelihara dari sikap menghinakan lawan bicara.
Sementara kini, komunikasi antara sesama dan di ruang publik makin jauh dari sikap menghargai. Hanya karena berbeda pendapat, cacian, sindiran, dan ucapan melecehkan begitu mudah ditemukan dalam obrolan sehari-hari. Dalam acara televisi, arogansi dan caci-maki seolah telah menjadi tradisi. Bahkan di media sosial, mencela jadi biasa. Kesantunan dan menghormati sesama kini mulai menjadi perilaku langka.
Di kalangan umat Islam, hanya karena berbeda dalam pemahaman keagamaan, mengafirkan menjadi biasa. Padahal, status kafir itu menakutkan. Siapa pun yang mengaku dirinya Muslim, akan sangat sedih bila dilabeli status itu. Janganlah dengan mudah menuding orang lain kafir karena hanya Tuhan yang tahu bagaimana kualitas beragama kita.
Mengedepankan tabayun, komunikasi dua arah dan utuh akan mengurangi perbedaan persepsi. Sertakan semangat untuk memelihara ukhuwah Islamiyah. Jangan sampai perbedaan pendapat menjadi laknat.
Ingatlah, Allah SWT telah memerintahkan kepada kita untuk menyampaikan dakwah dengan bijak, santun, dan jika pun harus berbantahan, lakukanlah dengan baik. "Serulah pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS an-Nahl: 125).
Ayat ini salah satu maknanya memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan risalah tauhid. Bahkan bila ada yang menolak dan meragukan Islam, bantahlah dengan cara yang terbaik. Apabila Rasulullah SAW saja diajarkan membantah dengan cara yang baik, tentu saja sebagai umatnya kita pun diperintahkan seperti itu.
Janganlah berbantah-bantahan dan umpatan menjadi tradisi. Berkomunikasilah dengan menjaga perasaan orang lain tanpa kekerasan dan sindiran yang menyakitkan. Apalagi bila perbedaan pendapat itu dengan sesama Muslim, menahan diri dan menghormati apa yang menjadi pendapat saudara kita sangat utama. Semua kita tengah belajar beragama, tak ada seorang pun yang sempurna pengetahuannya. Bila ada ulama ahli fikih, pasti beliau kurang memahami bidang ilmu lain, demikian juga yang lainnya. Demikianlah, pengetahuan manusia terbatas. Sejatinya, apa yang diketahui, amalkanlah sebaik mungkin.
Rasulullah SAW mengingatkan: "Engkau tidak menjadi alim sehingga engkau belajar, dan engkau tidak disebut mengerti ilmu sampai engkau mengamalkannya. Cukuplah dosamu bila kamu selalu mendebat, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu menentang. Cukuplah dustamu bila kamu selalu berbicara bukan dalam zikir tentang Allah." (HR Darimi).
Komunikasi yang sopan akan membawa pada semangat untuk menemukan kebenaran hakiki, bukan merasa benar sendiri. Ingatlah, kedalaman ilmu pengetahuan tidak ditentukan seberapa hebatnya kita berdebat. Belajar dan mengamalkannya menjadi penentu. Wallahu'alam.