Hikmah Erupsi Tambora
Hari itu hampir 200 tahun lalu, 11 April, 1815, tiga kerajaan lenyap sekaligus. Memakan korban 71.000 jiwa. 11.000—12.000 di antaranya terbunuh secara langsung pada akibat letusan. Akibat letusan ini juga dipercaya menjadi penyebab kalahnya Napoleon pada peperangan Waterloo, akibat curah hujan meningkat tiga kali lipat di Eropa. Satu tahun berikutnya (1816).
Satu tahun berikutnya (1816) sering disebut sebagai tahun tanpa musim karena perubahan drastis dari cuaca Amerika Utara dan Eropa karena debu. Akibat perubahan iklim yang drastis ini banyak panen yang gagal dan kematian ternak di belahan utara yang menyebabkan terjadinya kelaparan terburuk pada abad ke-19. Kejadian tragis sepanjang sejarah itu terjadi akibat meletusnya Gunung Tambora yang terletak di Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat.
Letusan Gunung Tambora 200 tahun silam itu menyisakan kaldera besar dengan diameter 9 km, kedalaman 1 km. Di tengah kaldera muncul anak Gunung Tambora yang biasa disebut warga dengan sebutan "Toi" yang siap menyaingi ledakan Tambora pada Tahun 1815. Selain itu, jutaan padang sabana menghiasi perjalanan menuju kaki Gunung Tambora, Dari Dompu hingga Calabai. Saat ini, padang sabana tersebut dialih fungsikan menjadi tempat habitat liar sapi, kerbau, dan kuda liar.
Tambora dalam bahasa suku Bima memiliki arti “hilang”, atau “menghilang” menjadi saksi bisu sekaligus menjadi bahan renungan bagi khalayak. Bintang yang bertaburan yang tampak di langit TamBora pada malam itu seolah mengajak kita untuk mengambil hikmah dari momentum 200 Tahun Erupsi Tambora. Merenungkan kedahsayatan gunung-gunung di ibaratkan seperti bulu bulu yang dihamburkan sebagaimana termaktub pada Surat Al Qariah ayat 5. Ed: yogi ardhi