REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia maya menjadi sarana bagi peredaran dan perdagangan obat palsu. Kanit III Subdit Indag Bareskrim Polri AKBP Tatok Sudjiarto mengatakan, perdagangan obat palsu yang melibatkan jaringan internasional seperti dari Cina dan India cukup sulit untuk diatasi.
"Masalah website, ketika sudah ditutup, muncul lagi. Penutupan itu bukan dari Polri, tapi Polri buat surat ke Kemenkominfo untuk menutup web itu," kata Tatok dalam seminar Hari Anti Obat Palsu bertema 'Waspadai Peredaran dan Penggunaan Obat Palsu' di Jakarta, Rabu (3/6).
Tatok menyebutkan tahun 2014 lalu, ada 364 website yang ditutup karena memperjualbelikan obat palsu. Dalam membuat rekomendasi penutupan website ke Kemenkominfo, lanjutnya, Polri harus memastikan terlebih dahulu ke BPOM apakah website tersebut benar-benar salah atau tidak.
"Tahun ini kita mau ada operasi lagi, koordinasi dengan BPOM. Tiap tahun ada," ujarnya.
Ia pun berharap ada perbaikan terhadap UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) agar kewenangan yang dimiliki kepolisian dapat ditambah. "UU ITE ini kan perlu ada perbaikan regulasi. Misalnya, polisi dengan bukti permulaan yang cukup bisa menutup website," kata Tatok.
Sementara itu, Direktur Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT (Perbekalan, Kesehatan dan Rumah Tangga) BPOM RI, Arustiyono mengatakan, kesulitan dalam mengatasi perdagangan obat palsu di dunia maya bertambah dengan adanya media sosial.
"Website sudah ditutup, tapi sekarang online bisa lewat Twitter, Facebook. Bisa ditutup nggak itu karena tiap orang juga punya hak asasi untuk membentuk akun-akun itu. Kami dengan kepolisian kesulitan buktikan, karena kita tidak bisa sembarangan menuduh orang karena ada asas praduga tak bersalah," jelas Arustiyono.
Oleh karena itu, Arustiyono mengatakan, saat ini pihaknya berfokus pada meningkatkan kesadaran pengetahuan masyarakat. Jika pengetahuan masyarakat sudah meningkat, lanjutnya, maka hukuman dapat diberikan bukan hanya kepada penjual, namun juga terhadap pembeli, seperti layaknya kasus korupsi.
"Harus ada secara regulasi, sekarang yang ngatur perdagangan obat di online belum ada. Tapi ada Permenkes yang mengatur tentang mengiklankan obat di internet," ujarnya.