Rabu 03 Jun 2015 22:31 WIB

Wamenlu Koordinasikan Pemanggilan Bareskrim Terhadap Sri Mulyani

Rep: C07/ Red: Winda Destiana Putri
  Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersaksi dalam persidangan kasus Bank Century dengan terdakwa Budi Mulya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (2/5). (Republika/Agung Supriyanto)
Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersaksi dalam persidangan kasus Bank Century dengan terdakwa Budi Mulya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (2/5). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir mengatakan akan mengkoordinasikan pemanggilan Bareskrim Mabes Polri terhadap mantan Menteri Keuangan sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi dan pencucian uang dalam penjualan kondensat bagian negara yang melibatkan SKK Migas dan PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI).

"Kami akan komunikasikan. Itu sangat biasa sebagai pekerjaan perwakilan kita menanggapi permintaan dari instansi apapun," kata Fachir di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Rabu (3/6).

Saat ini Sri Mulyani menjabat sebagai Managing Director Bank Dunia yang berkantor di Washington DC, AS.

Rencananya, penyidik Bareskrim Polri akan mengagendakan pemeriksaan Sri Mulyani sebagai saksi untuk kasus penjualan kondensat jatah negara. Dalam rencana pemeriksaan Sri Mulyani, Bareskrim akan menanyakan keputusan menkeu yang menyetujui penunjukan langsung TPPI sebagai pelaksana penjualan kondensat bagian negara. Selain itu, Polri juga akan menanyakan tentang surat persetujuan cara pembayaran TPPI yang dikeluarkan oleh Sri saat masih menjadi menkeu.

"Ingin mengetahui surat persetujuan cara pembayaran. Apakah sudah ada kontrak kerja SKK Migas dengan TPPI sehingga (penunjukan) disetujui?" kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Victor E. Simanjuntak.

Sri Mulyani diduga mengetahui TPPI mengalami kesulitan keuangan. Namun demikian Sri sebagai menkeu (saat itu) tetap menyetujui cara pembayaran tidak langsung TPPI dalam penjualan kondensat jatah negara. Dalam kasus ini, TPPI diketahui telah melanggar kebijakan wapres Jusuf Kalla (saat itu).

Menurut Victor, sesuai kebijakan wapres bahwa penunjukan TPPI sebagai pelaksana penjualan kondensat bagian negara diberikan dengan syarat hasil olahan kondensat dijual kepada PT Pertamina. Namun, kenyataannya TPPI malah menjual kondensat ke pihak lain, baik perusahaan lokal maupun asing.

Kasus ini bermula dari penunjukan langsung BP Migas terhadap PT TPPI pada Oktober 2008 terkait penjualan kondensat untuk kurun waktu 2009-2010. Sementara perjanjian kontrak kerja sama kedua lembaga tersebut dilakukan pada Maret 2009.

Penunjukan langsung ini menyalahi peraturan BP Migas Nomor KPTS-20/BP00000/2003-50 tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjual Minyak Mentah/Kondesat Bagian Negara dan Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-24/BP00000/2003-S0 tentang Pembentukan Tim Penunjukan Penjualan Minyak Mentah Bagian Negara.

"Ini melanggar ketentuan Pasal 2 dan atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan atau Pasal 3 dan Pasal 6 UU Nomor 15 Tahun 2002 Tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003, dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara," papar Victor.

Dalam kasus ini, penyidik sudah menetapkan tiga orang sebagai tersangka yakni RP, HW dan DH. Dari ketiga tersangka, hanya HW yang belum diperiksa penyidik karena berada di Singapura. Dalam kasus kondensat, Victor memperkirakan negara dirugikan sebesar 156 juta dolar AS atau sekitar Rp 2 triliun.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement