REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan menindaklanjuti rencana sertifikasi rumah ibadah agar status hukumnya jelas dan tidak rawan digusur.
"Kami sudah menjalin MoU (kerja sama) dengan Kementerian Agama untuk mensertifikasi rumah ibadah," kata Ferry Mursyidan Baldan usai menghadiri acara Real Estate Indonesia (REI) Jatim di Surabaya, Rabu (4/6) malam.
Menurut dia, dengan adanya sertifikasi tersebut diharapkan di Negeri ini tidak ada lagi rumah ibadah yang tergusur akibat status tanahnya tidak jelas atau wakaf. "Jadi nanti harus dicek dulu administrasi tanahnya sehingga tidak ada gugatan dari ahli waris," katanya.
Ia mengatakan pihaknya sudah membicarakan hal ini dengan Dewan Masjid. "Kami minta masjid yang statusnya tanah wakaf diinventarisir," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, pihaknya juga akan membicarakan persoalan ini di forum pra-muktamar Nahdatul Ulama (NU). "Kami akan bicarakan soal aset tanah NU," katanya.
Pada Rakernas Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendatang, kata dia, pihaknya juga membicarakan hal sama atau seputar tanah wakaf. Ini harus dilakukan supaya kedepan tidak menjadi sumber masalah," katanya.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam, Kementerian Agama Machasin sebelumnya mengatakan sertifikasi masjid sangat penting karena erat kaitannya dengan status hukum tanah. Dampaknya, kepastian itu akan menegaskan kepemilikan masjid merupakan milik umat atau tidak dikuasai perorangan ataupun tokoh tertentu. Apabila masjid menjadi milik perorangan maka akan ada potensi tanah masjid yang sejatinya sudah diwakafkan untuk dijual atau dipindah hak kepemilikannya.
Berdasarkan data Dewan Masjid Indonesia (DMI), masjid yang telah tersertifikasi ada di kisaran satu persen dari satu juta masjid yang ada. Maka dari itu, Kemenag akan terus mengupayakan adanya sertifikasi terhadap tanah-tanah wakaf yang di atasnya dibangun masjid.
Terlebih masih sedikit masjid yang ada di tanah wakaf memiliki sertifikat sehingga rentan dipindahtangankan padahal tempat ibadah merupakan sarana publik, bukan milik perorangan.