Jumat 05 Jun 2015 23:21 WIB

Antrean di Pusat Rehabilitasi Narkoba Milik Pemerintah Australia Jadi Sorotan

Red:
Di saat Pemerintah Australia mengatakan tingkat penggunaan sabu mencapai proporsi yang epidemic, masih ada sejumlah kekurangan di pusat rehabilitasi pemerintah.
Foto: Getty Images
Di saat Pemerintah Australia mengatakan tingkat penggunaan sabu mencapai proporsi yang epidemic, masih ada sejumlah kekurangan di pusat rehabilitasi pemerintah.

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Beberapa bulan terakhir, Pemerintah Australia meluncurkan kampanye kesadaran publik akan bahaya narkoba. Namun para pengguna yang ingin lepas dari ketergantungan justru menghadapi pilihan sulit.

Pilihan sulit itu adalah menghabiskan puluhan ribu dolar di klinik rehabilitasi swasta; atau menunggu hingga 7 bulan untuk direhabilitasi di fasilitas negara.

Nyatanya, banyak warga Australia menghabiskan puluhan ribu dolar di klinik rehabilitasi swasta baik di dalam maupun luar negeri untuk melepaskan ketergantungan akan sabu, ketimbang berada di daftar panjang antrian klinik rehabilitasi milik pemerintah.

Salah satu mantan pengguna sabu yang menghabiskan hampir 100 ribu dolar (atau sekitar Rp 1 miliar) di sebuah klinik rehabilitasi swasta di Thailand mengatakan, ia mencoba membantu teman-temannya menemukan klinik kesehatan yang didanai pemerintah untuk putra mereka yang sudah kecanduan sabu. Sebaliknya, ia bertemu dengan daftar tunggu yang panjang.

"Saya katakan kepada orang tuanya, ‘kita memiliki waktu 24 jam di sini, kita perlu menelepon beberapa tempat.’ Pada dasarnya, saya mengambil hari libur kerja dan menelepon untuknya. Saya mungkin menelepon 15 tempat di seluruh Australia. Tentunya, saya mencoba sesuatu yang awalnya didanai pemerintah. Tak ada satupun yang bisa menampungnya, " cerita mantan pengguna sabu yang dikenal sebagai Jimmy belum lama ini.

Ia mengungkapkan, “Semua tempat memberi saya periode tunggu antara enam minggu hingga tujuh bulan. Itu periode tunggu yang mereka berikan pada saya. Saya memberitahu orang tua bahwa kami punya waktu 24 jam. Kita harus menempatkannya di suatu tempat."

“Tempat rehabilitasi yang dimiliki secara pribadi, ada beberapa dari mereka yang memberi waktu 72 jam. Beberapa di antaranya sudah penuh dipesan, tetapi jika kami berkeras ... uang-lah yang berbicara di akhir hari,” tambahnya.

Professor Rebecca McKetin dari Universitas Nasional Australia (ANU) mengatakan, daftar tunggu yang panjang untuk pengobatan adalah sebuah halangan bagi rehabilitasi yang sukses karena penelitian menunjukkan bahwa orang yang lebih cepat masuk ke rehabilitasi, semakin baik kesempatan yang mereka miliki untuk lepas dari ketergantungan.

'Anda harus mendapat momen itu, karena keinginan pengguna, keinginan mereka untuk mengurangi penggunaan narkoba, mungkin merupakan faktir terkuat dari keberhasilan pengobatan," jelas Profesor Rebecca.

Ia menerangkan, "Di situlah kami perlu kapasitas yang lebih baik sehingga kami bisa memberi bantuan dengan cepat ketika mereka memutuskan ingin mengurangi penggunaan narkoba."

Dua mantan pengguna sabu, yang sudah insaf, menjelaskan bagaimana mereka kambuh dua kali meskipun dirawat di klinik swasta dengan biaya puluhan ribu dolar.

Isabelle, seorang perempuan berusia 24-tahun dari Melbourne, membayar 40 ribu dolar (atau Rp 400 juta) untuk pengobatan tiga bulan di sebuah klinik swasta di Melbourne, tapi ia lantas kambuh dalam waktu seminggu.

"Rasanya saya seperti akan mati jika saya tak mendapatkannya dan setelah saya lakukan, saya akan tenang secara fisik, tubuh saya tak menginginkannya lagi. Psikosis mental kemudian akan datang,” kisah Isabelle, yang pertama kali mengisap sabu pada usia 17 tahun.

Jimmy, 38 tahun, telah menggunakan sabu selama 13 tahun dan mengatakan, ia hanya bertahan 72 jam di sebuah klinik rehabilitasi sebelum akhirnya pergi.

Ia mencoba lagi di sebuah klinik Thailand yang bertarif 13.000 dolar (atau Rp 130 juta) per bulan. Setelah 30 hari ia siap untuk pergi sampai sang ibu berbicara dengannya di telepon.

"Ia menangis di telepon. Pada dasarnya, ibu saya hanya mengatakan, ‘Jika kamu kembali tanpa menyelesaikan program, kami akan mengganti kunci. Kamu tak lagi diterima di rumah kami. Itu adalah waktu yang buruk bagi keluarga saya. Ibu memberi ringkasan singkat seperti apa hidupnya selama tinggal dengan saya beberapa tahun terakhir. Itu membuat saya sedih," kisahnya.

Jimmy lantas menyambung, "Saya pernah mendengar semua itu sebelumnya, tapi saya tak pernah terus terang ketika ia mengatakannya kepada saya. Setiap kali ia mengatakan sesuatu kepada saya, jika itu menyinggung, saya akan minum lebih banyak atau aku akan memakai obat lebih banyak. Di sini, saya tak punya minuman atau sesuatu untuk digunakan jadi saya harus duduk dengannya dan itu menyedihkan. Saya kembali ke kamar, membongkar tas dan melakukan segala sesuatu yang disarankan.”

"Saya akhirnya ingin bersih. Saya telah mencapai titik terendah dalam hidup.Saya tak bisa lagi hidup dengan cara seperti ini dan saya akan mati atau kotoran saya diberesi," tuturnya.

Jimmy tinggal selama tujuh bulan dan diberi rencana manajemen untuk dipraktekkan kembali di Australia, tempat di mana ia tetap bebas narkoba dan alkohol hingga hari ini.

Situasi pengobatan di Australia kontras dengan langkah-langkah yang diambil oleh Selandia Baru, yang pada tahun 2001 memiliki salah satu tingkat penggunaan sabu tertinggi di dunia- 2x lipat lebih banyak dari tingkat kasus yang ada di Australia saat ini.

Kepala Yayasan Narkoba Selandia Baru, Ross Bell, mengatakan, awalnya, Pemerintah Selandia Baru menindaklanjuti dengan mengkriminalisasi penggunaan sabu, meningkatkan hukuman bagi pengedar narkoba, berinvestasi lebih pada pengawasan bea cukai dan melarang peredaran bahan kimia yang digunakan untuk membuat sabu, tetapi pendekatan 'perang terhadap narkoba' ini tak berhasil.

Ketika pada tahun 2009 pemerintah Selandia Baru berinvestasi dalam terapi untuk pecandu, jumlah pengguna mulai turun. Hari ini, tingkat pemakaian sabu di Selandia Baru setengah dari Australia.

"Kami mampu membuat beberapa kemajuan nyata karena sektor perawatan yang kekurangan dana tiba-tiba memperoleh sumber daya yang seharusnya wajib dimiliki," sebut Ross.

Ross menguraikan, "Saya benar-benar berharap bahwa salah satu pelajaran yang bisa diambil Australia dari pengalaman Selandia Baru adalah untuk menempatkan intervensi kesehatan, memprioritaskan investasi dalam bidang kesehatan."

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement