REPUBLIKA.CO.ID, Tapi bila direnungkan, di balik kesederhanaan itu malah kemudian terbayang betapa kuatnya tekad yang ada di benak KH Ahmad Dahlan. Dengan modal yang sangat pas-pasan bahkan kemudian sempat dimusuhi warga kampung yang risau atas ide pembaruannya, tak membuat surut langkahnya.
''Bangunan ini dulu sempat dibakar oleh sekelompok orang yang tak setuju dengan sikap Kiai Dahlan ketika ingin meluruskan arah kiblat di Masjid Gedhe. Tapi syukurlah, setelah dibangun kembali maka bangunan langgar yang dahulu terbuat dari kayu kemudian diganti dengan tembok. Beberapa tahun kemudian bangunan sekolah itu kemudian didirkan,'' ujar Nafi'an lagi.
Bila melihat situasi itu, jelas di zaman tersebut memperjuangkan ide baru tentang pembaruan ajaran Islam bukan hal mudah. Apalagi tindakan itu dilakukan tepat di tengah wilayah yang berada di pusat budaya Jawa, yakni Kraton Yogya karta. Dan syukurnya, penguasa kerajaan yakni Sultan Hamengku Buwono VII tampak 'memberikan angin' atau membiarkan ide pembaruan Kiai Dahlan berkembang di dalam kehidupan warganya.
Sikap terbuka dari penguasa Kraton Jogjakarta atas ide pembaruan Islam yang digagas Kiai Dahlan sempat ditegaskan kembali oleh Sri Sultan Hamengku Buwono ke-X sewaktu membuka acara Konggres Umat Islam Indonesia ke-6 di Yogyakarta pada awal Februari lalu. Sri Sutan menceritakan betapa pihak kraton mendukung ide yang dibawakan oleh KH Ahmad Dahlan.
Menurut Sultan, jika melakukan retrospeksi, dalam sejarah pergerakan Islam modern disebutkan, pada abad 19-20 muncul gerakan kebangkitan Islam. Pelopornya adalah Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal dan Ali Jinah. Mereka menganjurkan agar kaum Muslim membumikan ijtihad dan jihad fi sabilillah, serta memperkokoh solidaritas Islam.
“Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa keberangkatan KH Ahmad Dahlan, yang saat itu adalah abdi dalem Kraton, ke Makkah justru atas dorongan dan dukungan Sri Sultan HB VII. Bakda membaca dalam Tafsir Al Manaar karya Abduh, pada 1912 ia pun mendiri kan perserikatan Muhammadiyah di Yogyakarta,” kata Sri Sultan.
Mengomentari posisi kauman dalam kaitannya dengan perkembangan pembaruan Islam yang digagas KH Ahmad Dahlan, sejarawan Universitas Indonesia Didik Pradjoko menilai posisi kauman yang ada di dekat kompleks Kraton Yogyakarta tak mungkin bisa steril dari peran Sultan Hamengku Buwono VII. Paling tidak Sultan tak mempersulit gerakan yang tengah digagas oleh Kiai Dahlan.
“Ingat Ahmad Dahlan itu putra seorang penghulu kraton. Jadi pasti Sultan tahu gerak-geriknya. Apalagi kegiatan yang dia lakukan masih berada dalam lingkup tempat tinggalnya, yakni lingkungan kraton juga,” ujar Didik.