REPUBLIKA.CO.ID, MAGELANG -- Kesalahan pemberian obat (medication error) kepada pasien masih sangat tinggi.
Berdasarkan data Laporan Peta Nasional Keselamatan Pasien (Kongres PERSI 2007) kesalahan pemberian obat menempati urutan pertama sebesar 24,8 persen dari 10 kasus.
Demikian diungkapkan Budi Raharjo, praktisi apoteker RSUD Margono Soekarjo Purwokerto pada pelatihan apoteker dan tenaga teknis kefarmasian (TTK) di Universitas Muhammadiyah Magelang, Jawa Tengah, kemarin. Pelatihan ini digelar Prodi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan UM Magelang.
Untuk menghindari kesalahan, kata Budi, apoteker dan tenaga teknis kefarmasian (TKK) harus menjalankan praktek sesuai standar pelayanan.
"Apoteker dan TTK juga harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional," kata Budi.
Selain itu, lanjut Budi, dalam melakukan praktek, apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian juga dituntut untuk melakukan monitoring penggunaan obat, melakukan evaluasi serta mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya.
"Standar Pelayanan Kefarmasian diperlukan apoteker dan TTK untuk dapat dipahami dan diimplementasikan Apoteker dan TTK.," katanya.
Selain itu kemajuan ilmu kesehatan dan pergeseran paradigma profesi farmasi di bidang pelayanan kesehatan dari drug oriented ke patient oriented, menuntut peningkatan peran tenaga teknis kefarmasian yang bekerja di rumah sakit, puskesmas, maupun apotek agar kualitas hidup pasien meningkat. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan peran tenaga teknis kefarmasian dalam pengelolaan obat yang baik.
Siklus pengelolaan obat dan pelayanan juga harus dipahami dan dikuasai TTK sebagai tenaga profesional seiring dengan semakin meningkatnya pengetahuan dan ekonomi masyarakat yang menyebabkan makin meningkat pula kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kefarmasian.
Sedangkan Dr Satibi, Dosen Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada menekankan tentang perlunya pengelolaan obat berupa perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, dan penggunaan obat.
Selain itu juga diperlukan evaluasi yang meliputi rata-rata waktu yang digunakan dalam konsultasi, pelayanan sejak resep diterima hingga obat diberikan kepada pasien, menghitung jumlah obat yang dilayani dibanding dengan keseluruhan obat yang seharusnya dilayani, serta menghitung jumlah label yang dibuat yang tidak sesuai standar. Sehingga pemberian obat menjadi lebih efektif dan efisien.
Lebih lanjut Wakil Dekan Fakultas Farmasi UGM itu juga menegaskan tentang kemampuan apoteker dan TTK yang harus memberikan edukasi kepada pasien tentang pentingnya packaging sekunder (bungkus obat yang berisi komposisi obat serta berbagai kontra indikasi lainnya).
"Selama ini pasien hanya diberikan packaging primer (yang langsung bersentuhan dengan obat semisal botol sirup atau tub salep) tanpa diberi penjelasan tentang perlunya menyimpan packaging sekunder," kata Satibi.
Selain itu, lanjut Satibi, apoteker dan TTK merupakan tenaga profesional yang harusnya mengedukasi pasien tentang pentingnya kedua unsur packaging tersebut. Obat menjadi awet dan khasiatnya terjaga.