REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak disinyalir akibat ketidakmampuan orang tua untuk mengelola emosi di tengah tekanan hidup yang kian berat. Psikolog UIN Sunan Kalijaga, Achmad Chusaeni menilai anak sebagai orang paling lemah dalam keluarga kerapkali menjadi objek pelampiasan.
“Kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga bisa dilakukan oleh orangtua atau kerabat terdekat. Ini biasanya dipicu oleh tekanan hidup, terutama masalah ekonomi,” ujar Achmad kepada Republika, Jumat (12/6).
Ia menjelaskan, orang tua yang melakukan kekerasan biasanya tidak punya kemampuan untuk mengelola persoalan-persoalan yang dia hadapi dengan baik. Dalam situasi seperti itu, orang tua cenderung melampiaskan tekanan hidup pada orang yang paling lemah.
Akibatnya, anak-anak sebagai pihak yang paling lemah dalam keluarga kerapkali menjadi sasaran. Faktor itu juga berlaku dalam kasus kekerasan anak oleh kerabat terdekat. Anak sebagai pihak yang paling lemah rentan mengalami kekerasan, baik yang bermotif seksual maupun psikososial lain.
Psikolog ini menambahkan, menjadi orang tua itu tidak secara otomatis. Kita harus mempelajarinya melalui pengalaman hidup sejak memasuki bahtera rumah tangga. Keterampilan mengelola emosi juga tidak bisa diperoleh dari sekolah.
“Apalagi, pusaran hidup kita sekarang semakin rumit. Sangat banyak keluarga Indonesia yang masih berada di bawah garis miskin, sementara kemampuan untuk mengelola emosi dalam urusan rumah tangga rendah,” ujar Achmad.