Senin 15 Jun 2015 14:31 WIB

Bagaimana Tumbuh Sebagai Warga Muslim di Australia?

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Bagaimana rasanya tumbuh sebagai seorang warga Muslim di Australia, di tengah isu terorisme dan Islamophobia yang menghiasi pemberitaan media massa? ABC menemui lima remaja Muslim dan inilah penuturan mereka.

Aisyah

"Penggambaran sangat menentukan. Pengalaman menjadi warga Muslim di Australia juga sangat diwarnai isu rasis, dan hal-hal sepele bisa menjadi contoh: anda hanya melihat Suriah dalam konteks pengungsi dan perang. Saya yakin orang keturunan Suriah akan menganggap hal itu mengecewakan," tutur Aisyah.

"Selama ini saya bersekolah di tempat yang dipenuhi gadis-gadis berjilbab dan orang Muslim lainnya. Namun saya masuk kuliah dan merasa berbeda. Tahu bahwa begitu banyak orang yang baru pertama kalinya berbicara dengan wanita Muslim membuat saya agak takut," katanya baru-baru ini.

"Bayangkan, saya tiba-tiba merasa harus mewakili seluruh umat Islam sedunia dalam sikap dan perkataan saya di kampus. Saya merasakan tekanan seperti itu, agar jangan sampai terlihat menakutkan bagi orang lain, jangan sampai terlalu politis," ujarnya.

'Saya merasa sebagai seorang feminis. Saya percaya seorang wanita bisa mengenakan pakaian yang mereka suka, namun saya kira tidak salah mempertanyakan nilai kultural yang kita bawa sejak lahir," katanya.

"Saya setuju dengan definisi feminisme yang ditawarkan Bell Hooks, yaitu feminisme sebagai pendobrak patriakhi, imperialisme, kapitalisme, dan supremasi kulit putih. Dalam konteks saya, secara patriarkhi ada tuntutan agar saya menjaga tampilan tubuh saya, bahwa tubuh saya juga untuk konsumsi orang lain, dan bukan untuk pilihan saya sendiri," tuturnya.

Fatih

 

'Kami digambarkan seragam, seolah-olah sama semuanya. Kami dianggap tidak berbeda satu sama lain. Seolah-olah apa yang terjadi di Timur Tengah, sama semua karena indentitas kami sama," katanya.

'Anda terisolasi dari masyarakat. Saat beribadah, hanya anda dan tuhan, tak ada yang lain. Bagi saya agak mudah menerapkannya sehari-hari sebab saya belajar di Sekolah Islam," jelasnya.

'[Jake Bilardi] mendapat pengaruh keliru. Dia merepresentasikan bendera Islam yang salah. Apa yang coba mereka tampilkan adalah bahwa Islam itu agama dominan dengan jalan melakukan pembunuhan dan mengambilalih tanah orang lain," katanya.

Adam

 

"Masalah terbesar yang saya alami sebagai Muslim di Australia terjadi saat SMA: rasisme, bullying, dan semacamnya. Hal itu sering dialami anak-anak Muslim di sekolah non-Muslim," katanya.

"Sekarang saya melihat banyak orang Muslim yang tidak hanya berlindung di balik kartu Muslimnya. Orang-orang yang membuka percakapan," katanya.

'Bagi saya sendiri sangat berbeda sebab saya berkulit putih. Jika anda melihat saya di jalan, anda tidak akan tahu bahwa saya Muslim, kecuali dari kopiah saya. Saya separuh Lebanon separuh Australia. Jadi saya selalu mengalami pergelutan identitas dalam penampilan saya," jelasnya.

'Yang penting adalah mendidik orangtua dan pemimpin masyarakat. Ada isu di kalangan mereka. Misalnya, sangat mudah melihat ISIS dan tanggapan otomatis yang terdengar adalah, "oh, itu konspirasi Amerika"," katanya.

Osama

Osama, 16, siswa sekolah menengah. (Foto: Alex McClintock/ABC)

Osama, 16, siswa sekolah menengah. (Foto: Alex McClintock/ABC)

 

"Kami sering digambarkan sebagai musuh, padahal kami bukan musuh. Kamia terbuka untuk diskusi. Ada saatnya banyak di antara kami yang berhenti sama sekali, mematikan TV, tidak baca suratkabar karena beritanya tidak benar," katanya.

'Menyedihkan dan pada saat yang sama membuat marah karena anda tidak bisa melakukan apa-apa terkait hal itu. Mereka memberitakan seseorang yang melakukan penembakan dan menuduh anda pelakunya," katanya.

'Warga Australia yang terlibat perang di Suriah bukan satu-satunya. Banyak kasus lain, umumnya mereka yang baru masuk Islam, mereka menarget mereka yang mudah terpengaruh radikalisasi," katanya.

'Di era internet ini begitu mudahnya mempengaruhi dan merekrut orang untuk masuk dalam jebakan," katanya.

Mariam

Image: Mariam, 19, kuliah di Australian Catholic University. (Foto: Alex McClintock/ABC)

Image: Mariam, 19, kuliah di Australian Catholic University. (Foto: Alex McClintock/ABC)

 

'Menyedihkan. Setiap ada berita saya berpikir, "Sekarang apalagi?" Saya sudah berhenti menonton berita karena hal itu," ujarnya.

'Sangatr menyakitkan mendengar begitu banyak hal negatif mengenai agama yang anda anut dan percayai sebagai agama damai. Sesuatu yang bermakna dan digambarkan jahat, hal ini sangat menyakitkan," katanya.

'Di kampus anda bertemu orang yang menganggapmu berbeda, dan saat anda bicara biasa saja, menonton acara TV yang sama, mendengar lagu-lagu yang sama, orang bilang, "Kok bisa?" Mereka kaget," katanya.

"Sebagai orang Islam, kami hanyanya warga biasa, yang mencoba hidup sewajarnya namun kami berusaha mencari tuhan dalam setiap tindak-tanduk kami. Ada kata-kata penyair Anis Mojgani, "I dream too much, I don't write enough and I'm trying to find God everywhere."'

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement