REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menekankan upaya rekonsiliasi untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM berat wajib memperoleh persetujuan korban.
"Negara tidak punya legitimasi memutuskan menempuh jalur rekonsiliasi tanpa persetujuan korban pelanggaran HAM," kata Koordinator KontraS Haris Azhar, di Jakarta, Senin (15/6).
Haris menekankan pihaknya menolak wacana pembentukan tim rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Menurut KontraS, saat ini momentum rekonsiliasi sudah tidak tepat, karena momentum transisi politik sudah lewat.
KontraS memandang saat ini proses hukum dan keadilan harus ditegakkan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Negara patut mengedepankan keterbukaan dalam penyelesaian kasus, serta mengakui jerih payah korban yang selama belasan bahkan puluhan tahun mencari keadilan.
KontraS memandang rekonsiliasi baru bisa dilakukan manakala seluruh proses tahapan memberikan keadilan bagi korban telah ditempuh, dan tetap memerlukan persetujuan korban. Sebelumnya pemerintah melalui rapat bersama yang digelar Kejaksaan Agung mewacanakan jalur rekonsiliasi guna menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tanpa jalur hukum dan yudisial.