REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para penegak hukum di Indonesia sudah saatnya memiliki pola pikir in rem dalam penegakan hukum kejahatan yang berorientasi pada harta atau aset. Steering Committee Member of Interpol Global Focal Point on Asset Recovery, Chuck Suryosumpeno menyatakan, jika para penegak hukum mengimplementasikan pola pikir tersebut, pidana finansial atau denda dapat berorientasi pada value of money.
"Jika menggunakan prinsip in personam, seperti yang diterapkan KUHAP, maka aset yang dapat disita adalah yang terkait serta dihasilkan tindak pidana pelaku saja, prinsip value of money tidak dapat diterapkan," ujar Chuck di Jakarta pada Selasa (16/6).
Dia mencontohkan betapa prinsip in rem layak diterapkan. Ketika kejahatan narkotika diterapkan sistem pemulihan aset, lanjut dia, langkah itu akan lebih memberi efek jera pada para pelaku kejahatan ketimbang hukuman mati.
Dia menyebut hal itu sudah diterapkan di Amerika Serikat dan Eropa. "Mereka berhasil melakukan pemulihan aset dari kejahatan narkotika yang nilainya sangat besar. Aset narkotika itu melibatkan para bandar sampai kartel dan besarannya sangat luar biasa. Hampir 50 sampai 65 persen aset kejahatan dunia itu berasal dari kejahatan narkotika," ujar mantan kepala Kejaksaan Tinggi Maluku itu.
Terpisah, pakar hukum pidana Jamin Ginting menegaskan, pascapenanganan kasus Komjen Budi Gunawan, implementasi tindak pidana pencucian uang (TPPU) di KPK menurun. Disamping itu, mekanisme penyitaannya juga masih sederhana. "Penyitaan aset koruptor di KPK selama ini tersandung masalah teknis. Ditambah lagi pimpinan atau anggota KPK yang ahli di bidang tersebut sangat minim," kata Jamin.
Dia menambahkan, prosedur penyitaan aset yang dilakukan KPK selama ini juga kurang maksimal. "Agar KPK tidak asal sita dan barang sitaan berkurang nilai ekonomisnya, maka pimpinan KPK ke depan harus mengoptimalkan ataupun memperbaiki prosedur penyitaan," saran Jamin.