REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Hakim agung Gayus Lumbuun mengusulkan tiga opsi yang dapat diambil Mahkamah Agung dalam membentuk sebuah kebijakan atau peraturan terkait gejolak di masyarakat akibat perbedaan hukum acara yang dipahami hakim dalam memutus perkara praperadilan.
"Yang pertama putusan Sarpin apakah bisa diterima MA? Kalau diterima ya terbitkan sikap resmi bahwa sikap hakim Sarpin bisa diterapkan oleh hakim lain dengan memperluas kewenangan praperadilan hingga masuk ke pokok perkara," tuturnya dalam diskusi bertajuk "Polemik Praperadilan dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi" di Jakarta, Rabu.
Hakim Sarpin Rizaldi merupakan hakim tunggal yang memenangkan permohonan praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan dalam dugaan tindak pidana korupsi terkait transaksi-transaksi mencurigakan dengan mendasarkan putusannya pada keabsahan alat bukti yang diserahkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Opsi kedua, kata Gayus, yaitu MA dapat mengatur agar praperadilan harus tetap dijalankan sesuai ketentuan Pasal 1 angka 10 KUHAP yang ditegaskan kembali dalam Pasal 77 hingga Pasal 83 KUHAP di mana praperadilan hanya berwenang memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan dan/atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penuntutan, dan permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya.
"Apakah MA mengatur praper harus sesuai dengan KUHAP sambil menunggu revisi KUHAP selesai yang itu dapat memakan waktu lama hingga dua tahun," katanya.
Pilihan ketiga, menurut Gayus, MA bisa memberikan kebebasan kepada hakim praperadilan untuk memilih antara tetap berpegang pada KUHAP dalam mengadili dan memutus perkara praperadilan atau menerapkan perluasan kewenangan praperadilan seperti yang dilakukan oleh hakim Sarpin dan kemudian diatur juga dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang pada pokoknya memperluas kewenangan praperadilan dengan menambahkan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
"Atau hakim dibebaskan untuk memilih apakah 'Sarpin effect' itu benar atau hakim yang berdasarkan KUHAP yang benar. Opsi ini didasarkan pada Pasal 3 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman di mana hakim diberi kebebasan dan tidak boleh diintervensi siapapun," tuturnya.
Pasal tersebut mengatur bahwa dalam menjalankan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian pradilan berdasarkan independensinya masing-masing.
Namun, ayat 2 Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman itu juga mengatur bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Dengan demikian, kata Gayus, independensi hakim praperadilan tetap harus tunduk pada peraturan MA selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam struktur peradilan.
"Saya sependapat dengan usulan bahwa harus ada sikap resmi MA terkait praperadilan ini. Bentuknya harus PERMA agar bisa mengikat pihak lain di luar MA," kata Gayus.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) sendiri, dikatakannya, diputuskan di lembaga normatif tertinggi yaitu rapat pleno hakim agung.
Desakan agar MA mengeluarkan peraturan terkait praperadilan terus diserukan oleh beberapa pihak di antaranya Indonesia Corruption Watch (ICW), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), namun MA belum menindaklanjutinya.