Kamis 18 Jun 2015 20:05 WIB

Praktisi Hukum: KPK Harusnya Terima Putusan Praperadilan HP

Red: M Akbar
Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo dalam sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan, Jumat (22/5). (Republika/Agung Supriyanto)
Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo dalam sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan, Jumat (22/5). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktisi hukum Ombun Suryono mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya bisa menerima keputusan diterimanya praperadilan Dirjen Pajak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo beberapa waktu lalu.

"Apa yang menjadi putusan hakim pada praperadilan yang memenangkan HP itu seharusnya bisa diterima dengan legowo. Karena kekalahan bukan akhir dari segalanya dan seolah dunia kiamat," kata Ombun dalam diskusi di Pondok Lagunas, Senayan, Jakarta, Kamis (18/6).

Karena itu, Ombun merasa heran atas langkah pengajuan Peninjauan Kembali (PK) pihak KPK yang beberapa waktu dinyatakan kalah dalam sidang praperadilan yang memenangkan HP dengan kasus dugaan mengubah telaah Dirjen Pajak penghasilan dalam Surat Ketetapan Pajak Nihil Pajak Penghasilan (SKPN PPh) BCA.

"Saya bingung sama posisi KPK, karena menurut syaratnya, Pasal 263 ayat 1, yang bisa melakukan PK adalah pihak terpidana atau ahli waris, pertanyaannya status permohonan PK itu sebagai apa, ahli waris atau terpidana," katanya.

Ombun mengharapkan KPK memberikan upaya hukum yang baik dengan menegakkan hukum, harus sesuai dengan hukum. Namun dengan pengajuan PK yang akan dilakukan KPK, seolah-olah lembaga tersebut itu sudah kiamat.

"Ini masalah keegoan, bikin saja sprin baru, ganti penyidiknya. Bukan malah mengajukan PK, ini nabrak tembok namanya," ucapnya.

Ombun pun mempertanyakan domain badan independen tersebut apakah lembaga hukum atau politik. "Kalau hukum, apa yang salah yah diterima sebagai hal salah, beda dengan politik, yang salah bisa jadi benar," katanya menambahkan.

Sementara itu pengamat hukum dari Universitas Kristen Indonesia Togar SM Sijabat mengatakan sikap KPK yang seperti itu hanya mencari popularitas saja terkait serangkaian hasil dari penindakan kasus-kasus dugaan korupsi di Indonesia yang hasilnya tidak begitu memuaskan.

"Tanpa itu semua, masyarakat sudah mencintai KPK. Makanya KPK harus memahami bahwa Praperadilan dan Peninjauan Kembali itu merupakan hak yang dimiliki oleh seorang tersangka dan terpidana," ujar Togar Sijabat.

Kendati demikian, ketika ditanya apakah dengan diskusi tersebut ada upaya pelemahan pada lembaga anti korupsi tersebut dia enggan mengakuinya. "Tidak lah kita semua cinta KPK, namun caranya jangan seperti itu," kata Togar.

Atas putusan itu, Togar menambahkan seharusnya lembaga yang dibentuk pada pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri itu menjadikan momen ini untuk koreksi diri.

"KPK harusnya berterimakasih kepada pengadilan karena ada lembaga yang mengkoreksinya. Jadi ketimbang mengajukan PK yang menurut saya sia-sia lebih baik memperbaiki diri," ujar dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement