REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengajuan kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyelidikan (SP3) untuk KPK yang diajukan pimpinannya Taufiqurrahman Ruki menuai protes. Ruki dinilai mulai bisa berkompromi dengan tekanan dari luar.
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf mengatakan ide Ruki bisa disebut sebagai tindakan kompromi. Padahal sebagai pimpinan lembaga antikorupsi, dirinya harus bisa menghalau semua intervensi yang sudah menjadi risikonya.
"Menyikapi perbedaan pendapat antar pimpinan KPK, saya menilai Pak Ruki sebagai pimpinan ini agaknya mulai berkompromi dengan tekanan dari luar," kata Asep saat dihubungi Republika, Jumat (19/6).
Ia menilai tekanan bagi KPK memang sangat besar. Pasalnya lembaga ini berurusan dengan para tersangka koruptor yang juga pejabat-pejabat pemerintahan sehingga kekuatan perlawanan sangat kuat. Namun, ketika seorang diberikan tanggung jawab sebagai pimpinan KPK, maka risiko itu harus bisa ditepis tanpa pengecualian.
Kata dia, salah satu kasus yang menjadi salah satu bentuk Ruki mulai berkompromi dengan pihak luaryakni dalam dugaan rekening gendut Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Ruki memutuskan kasus itu diserahkan ke Kejaksaan Agung lalu dilimpahkan ke Kepolisian.
Ide Ruki soal pengajuan SP3 ini dianggapnya cukup mengecewakan. Apalagi selama ini ia dinilai pro pada pihak-pihak yang mengintervensi KPK. Keputusan mantan wakil ketua fraksi TNI Polri itu juga sering berbeda dengan komisioner KPK yang lain.