Ahad 21 Jun 2015 02:30 WIB

'Senjata Pemusnah Massal' yang Laris di Indonesia

Kampanye anti merokok di kawasan silang Monas, Jakarta, Rabu (12/11).
Foto: Antara
Kampanye anti merokok di kawasan silang Monas, Jakarta, Rabu (12/11).

REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta, 20/6 (Antara) - Data dari Universitas Indonesia menyatakan setiap hari sekitar 500 orang meninggal dunia di Indonesia dengan perincian data terakhir jumlah korban laki-laki 100.680 jiwa dan perempuan 89.580 orang dengan total 190.260 per tahun (2010).

Namun, penyebab kematian tersebut justru dinikmati oleh masyarakat luas tanpa disadari, padahal kejadian tersebut bisa dibilang seperti senjata pemusnah massal yang legal. Senjata itu akrab disebut "rokok". Baik perokok aktif maupun pasif, sama-sama menderita.

Fakta menunjukkan tren merokok makin meningkat setiap tahunnya, sekitar 20 persen terus meningkat. Seiring dengan peningkatan tersebut bermunculan penyakit yang erat dekat dengan kematian. Pakar pengendalian konsumsi tembakau Hasbullah Thabrany menyebutkan sebanyak 70 persen perokok aktif di Indonesia adalah pada kategori remaja.

"Perokok mayoritas adalah remaja pada usia 16--26 tahun. Oleh karena itu, merupakan target dari konsumsi rokok," kata Hasbullah.

Ia berdiskusi tentang konsumsi rokok yang makin meningkat setiap tahunnya. Hal tersebut akan berdampak pada kesehatan pada usia produktif. "Menurut data, konsumsi rokok meningkat sekitar 20 persen per tahunnya di Indonesia," tuturnya.

Selain itu, mayoritas konsumen rokok selain kategori remaja adalah pada golongan dengan keadaan ekonomi menengah ke bawah. Ia berpendapat bahwa hal itu terjadi karena rata-rata konsumen rokok dengan keadaan ekonomi menengah ke atas sudah mengetahui dampak buruk dari merokok.

"Selain buruk pada kesehatan, secara otomatis juga bisa menambah beban biaya kesehatan sehingga orang kaya sudah memahami masalah ini terkait dengan gaya hidup sehat," kata Hasbullah.

Kemudian, orang dengan ekonomi menengah ke bawah kebanyakan tidak bekerja kantoran sehingga kesempatan merokok lebih besar. "Ini memprihatinkan karena konsumsi pada remaja dan rakyat miskin akan terasa langsung dampaknya setelah 20 tahun kecanduan rokok, saya kira semua sudah tahu apa bahaya merokok," ujarnya.

Profesor Hasbullah Thabrany mengusulkan kenaikan cukai rokok untuk menambah anggaran jaminan kesehatan nasional. "Kenaikan cukai rokok bisa digunakan untuk menambah anggaran penerima bantuan iuran (PBI) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan," kata Hasbullah Thabrany.

Hasbullah mengatakan bahwa penerimaan cukai rokok pada tahun 2014 mencapai Rp 127 triliun. Sementara itu, anggaran untuk PBI BPJS Kesehatan hanya Rp 23 triliun. Padahal, konsumsi rokok terbukti berkontribusi terhadap berbagai penyakit berat, seperti serangan jantung, kanker, dan paru-paru, yang biaya pengobatannya relatif sangat mahal. Seluruh penyakit itu ikut ditanggung oleh jaminan kesehatan nasional.

"Di Inggris, 100 persen penerimaan cukai rokok dialokasikan untuk program kesehatan. Itu karena mereka sadar bahwa rokok berkontribusi terhadap penyakit-penyakit berat," tuturnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement