REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Gelombang Arab Spring 2011 lalu telah merubah ketenangan Ramadhan di Suriah hingga saat ini. Ramadhan kali ini merupakan tahun kelima sejak konflik memporak-porandakan Suriah.
Masih ada beberapa pelajar asal Indonesia yang berjuang menimba ilmu di negeri Syam ini. Tentu mereka harus menyesuaikan diri dengan kondisi krisis saat menjalankan ibadah di bulan Ramadhan.
Ketua Himpunan Pelajar Indonesia Suriah Ahmad Fuadi Fauzi bercerita mengenai kondisi Suriah sebelum dan setelah konflik terjadi.
"Kalau dulu, setiap malam kami berkeliling ke Masjid-Masjid di Kota Damaskus," tuturnya saat Buka Bersama dengan Dubes RI untuk Suriah.
Mahasiswa Suriah selalu berburu makanan berbuka di Masjid tertentu. Warga Damaskus terkenal dengan kedermawanannya pada mahasiswa asing. Saat mereka pulang tarawih, warga selalu memberikan uang. Namun kondisi ini jarang ditemukan.
Kesulitan ekonomi menjadi faktor utama perubahan ibadah Ramadhan saat musim pana. Bahkan beberapa Masjid yang biasa menjadi langganan berburu makanan kini sudah dikuasai pemberontak dan ISIS.
Situasi keamanan yang rawan pun menjadi pertimbangan mahasiswa untuk bepergian terlalu malam. Ramadhan tahun ini bertepatan dengan musim panas. Berpuasa disana bisa sampai 16,5 jam. Mereka memulai puasa pukul 04.30 dan maghrib pukul 20.00.
Shalat isya baru dimulai 21.30 dan tarawih selesai sekitar pukul 23.00. Sehingga mereka baru sampai di rumah sudah larut malam.