REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 belum saatnya direvisi. Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Aradila Caesar mengatakan, untuk saat ini, revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) lebih penting untuk dilakukan dibanding merevisi UU KPK.
"Jika pemerintah dan DPR ingin memperkuat KPK dan mendukung pemberantasan korupsi, hal yang perlu dilakukan adalah merevisi UU Tipikor yang banyak kelemahannya, bukan UU KPK," kata laki-laki yang biasa disapa Ara itu di kantor ICW, Jakarta, Ahad (21/6).
Ara mengatakan, usulan revisi UU Tipikor sebenarnya sudah dilakukan pemerintah sejak 2007 dengan tim yang diketuai Andi Hamzah. Namun, pada tahun 2011, naskah RUU Tipikor yang disusun pemerintah itu batal diserahkan ke DPR untuk dibahas. Pembahasan pun, lanjutnya, belum ada hingga saat ini meskipun RUU Tipikor masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2019.
"Sejak 2009 kami sudah membuat kajian tentang UU Tipikor yang telah diperbarui tahun 2015. Dari hasil kajian tersebut kami menyiapkan naskah akademik dan rancangan revisi UU Tipikor, jadi usul inisiatif masyarakat," ujarnya.
Dari hasil kajian tersebut, kata Ara, setidaknya ada 18 poin yang menjadi rekomendasi perbaikan dalam UU Tipikor. Satu di antaranya, yakni terkait ancaman pidana bagi yang merugikan keuangan negara atau daerah.
"UU Tipikor itu tidak adil, sebab ada pasal yang mana hukuman koruptor pejabat publik itu lebih berat ketimbang bukan pejabat publik. Diharap dengan revisi akan lebih mengoptimalkan pemberantasan korupsi," ujar Ara.