REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat Energi sekaligus direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara meminta agar pemerintah segera membatalkan rencana penyerahan 30 persen saham Blok Mahakam kepada Total dan Inpex. Marwan menilai hal itu akan mengurangi kesempatan bagi Pertamina untuk memperoleh keuntungan maksimal, 100 persen.
Selain itu, pemerintah dituntut untuk segera menyerahkan 100 persen saham Mahakam kepada Pertamina. Dengan menjadi pemegang saham mayoritas tunggal Mahakam, Marwan menilai, Pertamina akan menjadi penghasil migas terbesar di Indonesia, menjadi tuan di negeri sendiri dan leverage perusahaan meningkat, sehingga perannya sebagai pendukung utama ketahanan energi nasional dapat terwujud.
Marwan mengungkapkan, sejak 2010 hingga saat ini, Pertamina, termasuk Dirut Dwi Soetjipto, telah berulang kali menyatakan keinginan dan kesanggupan mengelola 100 persen Blok Mahakam.
"Jika pemerintah konsisten dengan ketentuan Permen ESDM No.15/2015 maka seharusnya pemerintah memberi kesempatan Pertamina memiliki 100 persen saham, kemudian bernegosiasi langsung kepada kontraktor lain, termasuk Total dan Inpex," jelas Marwan, Senin (22/6).
Dia beranggapan, dengan demikian akan diperoleh penerimaan suntikan modal berupa akuisisi saham atau pertukaran cadangan terbutki (reserves swap) secara transparan dengan nilai yang maksimal dan sebanding.
Sebaliknya, dengan masih mengakomodasi Total dan Inpex terbukti bahwa pemerintah telah tunduk kepada keinginan asing yang selama ini terus memaksakan keinginan untuk memiliki saham di Blok Mahakam.
"Arogansi sikap kontraktor asing seperti ini seharusnya dilawan dengan konsistensi sikap yang memihak NOC bangsa sendiri. Bukan justru sikap yang menunduk dan patuh sekaligus mempertontonkan kelemahan bangsa Indonesia dihadapan bangsa lain," ujar Marwan.
Marwan juga mengritisi sejumlah pejabat pemerintah yang menyatakan perlunya memberi kesempatan kepada Total dan Inpex tetap memiliki saham di Blok Mahakam agar produksi migas tidak turun. Pernyataan ini, menurutnya, secara tidak langsung menganggap produksi akan turun jika dikelola Pertamina.
"Pernyataan ini merupakan bagian dari propaganda asing dan sekaligus merupakan bentuk penghinaan kepada kemampuan bangsa Indonesia, sehingga sangat tidak pantas diucapkan oleh pejabat pemerintah," katanya.
Marwan melanjutkan, dalam upaya tetap memperoleh saham yang signifikan, sekitar 35 persen, Total telah mengancam pemerintah akan menurunkan tingkat produksi migas Blok Mahakam, dan diwujudkan dengan rencana penurunan investasi 2015-2016.
Padahal, katanya, sesuai Letter of Intent (LoI) Ditejen Migas 26 Maret 2010, guna menjaga tingkat produski migas yang stabil, Total telah diberi insentif percepatan depresiasi dan telah dituangkan dalam amandemen KKS Mahakam.
"Dengan ancaman tersebut, berarti Total melanggar amandemen KKS Mahakam, dan kredibilitasnya patut dipertanyakan karena telah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan," katanya lagi.
Sesuai dengan ketentuan UU ini, dan mengingat KKS Mahakam pertama kali ditandatangani pada 6 Oktober 1966, maka seharusnya KKS Blok Mahakam berakhir pada 5 Oktober 2016. Marwan menganggap pemerintah perlu menyatakan KKS Mahakam bukan berakhir pada 31 Januari 2017, tetapi 5 Oktober 2016.