REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Sejumlah peneliti asal Amerika dan Indonesia meneliti perkembangan pergerakan lempeng benua di sekitar Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat (Sumbar) menggunakan kapal riset asal Amerika Serikat, R/V Falkor.
"Riset ini untuk melihat sisi perairan Sumatra, terutama Mentawai untuk melihat perkembangan pergeseran zona subduksi. Hasilnya akan diberikan ke pihak Indonesia, yang sama ada di kapal untuk diterjemahkan mitigasi apa nantinya yang mesti dilakukan," tutur salah seorang peneliti LIPI yang ikut dalam riset tersebut, Nugroho D. Hananto saat berada di Universitas Andalas (Unand), Senin (22/6).
Dikatakannya, para peneliti memaparkan lempeng benua di titik yang diduga area megathrust. Di titik tersebut, terus terjadi pergerakan.
Sementara itu, peneliti Earth Observatory (EOS) Singapore, Paul Tapponnier mengatakan, berdasarkan data GPS, gempa yang menimbulkan tsunami terjadi pada 25 Oktober 2010. Gempa tersebut, terjadi sangat lokal pada area yang sempit, namun efeknya air terangkat ke permukaan.
Secara historis, wilayah barat Sumatra Barat telah beberapa kali dihantam gempa besar yang memunculkan tsunami. Ia menjelaskan, selain pada 2010, yang paling besar lainnya terjadi pada 1833. "Ini teori atau ide pemikiran kita bertahun-tahun. Kalau terjadi pop-up, maka bisa jadi, terjadi tsunami besar. Gempa dan tsunami tahun 2004, banyak garis-garis pop-up," ujar Tapponnier.
Menurutnya, berdasarkan gempa dan tsunami pada 2004 lalu, di mana banyak garis-garis pop-up yang terus diamati untuk penggambaran kejadian tsunami.
Pada gempa dan tsunami Mentawai 2010, dikatakannya, telah terjadi tolakan tanah atau benua (pop-up) ke arah selatan. Garis laut bergerak menekan ke utara. Sehingga terjadi tekanan lempeng setinggi 400 meter yang menyebabkan tsunami.
Tapponnier menegaskan, seluruh lempengan di muka bumi pasti bergerak satu sama lain. Namun, menurutnya, di sisi barat Sumbar ini, memang ada area yang cukup menarik perhatikan selama ini, karena sejarah dan pergerakannya.
Namun, ia mengatakan, hal tersebut dapat dikesampingkan, sebab masih banyak hal yang harus dipikirkan seperti mitigasi dan pengurangan resiko bencana.
Tapponnier meminta masyarakat Mentawai untuk tidak perlu melakukan migrasi. Sebab, ia mengatakan, belum ada satu /pun peneliti yang dapat memastikan kapan dan di mana titik gempa dan tsunami terjadi. Ia menghimbau kepada masyarakat untuk sebisa mungkin bermukim di ketinggian dan lokasi aman untuk menghindari ketinggian air tsunami.
Konsulat Amerika Serikat untuk Sumatra (U.S Consulalate for Sumatra) Robert Y. Ewing mengatakan, Kapal R/V Falkor akan berlabuh di Padang pada Senin (22/6) sore setelah melakukan pelayaran selama 22 hari di perairan barat Sumatra Barat.
Kapal ini membawa peneliti dari Earth Observatory (EOS) of Singapore dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), serta peneliti Amerika milik lembaga Schmidt Ocean Institute (SOI).
"22 hari berada di perairan Sumbar untuk melakukan pemetaan bawah laut menggunakan teori seismic," kata Ewing.