Begini Suasana Ramadhan Era Ottoman

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Nasih Nasrullah

Selasa 23 Jun 2015 11:13 WIB

Dokumentasi penyiapan takjil pada era Ottoman Foto: theottomanfiles.com Dokumentasi penyiapan takjil pada era Ottoman

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tradisi penyambutan Ramadhan juga sangat meriah selama masa Ottoman. Donald Quataert dalam bukunya  Ottoman Empire 1700-1922, menguraikan Ramadhan selalu menjadi bulan  istimewa di semua era kepemimpinan Islam, termasuk di masa Dinasti Turki  Usmani/ Ottoman.

Pada masa Di masa Dinasti Turki Usmani, terutama di Damaskus pada abad ke-18,  Gubernur Damaskus akan berkeliling wilayah untuk mengingatkan  pembayaran zakat dan pajak beberapa pekan sebelum Ramadhan.  Kehidupan masyarakat kota juga lebih semarak seusai ifthar, atau berbuka puasa.

Pusat-pusat kegiatan masyarakat lazim dijadikan tempat berkumpul untuk  berbuka puasa bersama. Di pertengahan abad ke-19, raja juga memberi  subsidi dan bantuan makanan kepada masyarakat miskin di bulan ini.  Meriam sengaja ditembakkan pemerintah kota untuk memudahkan  mengetahui waktu memulai dan berbuka puasa selama Ramadhan.

Sejumlah hiburan rakyat juga digelar, seperti karagoz (wayang) dan  karnaval. Ramadhan dimanfaatkan juga sebagai bulan silaturahim  antarbudaya dan agama. Istana biasanya mengundang para tokoh agama  dan budaya untuk jamuan buka puasa bersama.

Penertiban tempat makan dan minum di siang hari juga ditertibkan. Polisi  dikerahkan pada siang dan malam guna menghalau adanya orang mabuk di  malam Ramadhan. Laki-laki dan perempuan juga dilarang berjalan hanya  berdua saat itu. Meski tidak diketahui apakah ada hukuman yang dijatuhkan  atau tidak, imam atau tokoh agama berperan memberi pengarahan.

Ulama juga terus diundang untuk membacakan Alquran setiap malam, baik di  istana maupun istana. Menara-menara masjid juga diterangi lampu-lampu  yang memberikan efek pendaran cahaya bagi wilayah sekitarnya.

Sekolah-sekolah juga diliburkan selama Ramadhan. Namun, ada saat para siswa dikoordinir sekolah untuk berkunjung ke desa-desa melakukan  kerja sosial atau berbagi makanan. Kantor-kantor pemerintah mengalami atur  ulang jadwal sehingga para pekerjanya tetap bisa memaksimalkan ibadah  saat Ramadhan.

Niki Gamm juga melansir ulasan para pelancong  Eropa yang sempat singgal  di wilayah kekuasaan Turki Usmani antara abad ke-17 hingga 19 dalam  tulisannya Ottoman Ramadan Through Foreigners’ Eyes. Evliya Celebi,  Edmondo de Amicis, dan Lady Dorina Neave sama-sama menyebut  Ramadhan di Istanbul sepi pada siang hari dan ramai di malam hari.

Kios-kios  penjual makanan dan minuman juga tutup. Meski bukan Muslim, Celebi  mengungkapkan ia tak disuguhi makanan oleh siapapun saat pertama kali  tiba di Istambul di siang hari bulan Ramadhan.

Selepas azan Maghrib yang berkumandang dari menara-menara masjid,  warga dengan suka cita berbuka puasa dan mengajak siapa saja, termasuk  warga asing, untuk makan bersama. Istana, ungkap Celebi, biasanya  menyajikan sajian istimewa khas Ramadhan bagi tamu negara. Namun, de  Amicis dan Neave mengungkapkan makanan khas

Ramadahan seperti sirup  dari estrak buah dan  bunga juga di sajikan masyarakat.

Masjid, jalan-jalan, dan rumah-rumah dibersihkan menjelang dan di akhir Ramadhan. Orang-orang tetap saling bertegur sapa dan ramah kepada para pelintas baik yang mereka kenal maupun orang asing.

Terpopuler