REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tradisi penyambutan Ramadhan juga sangat meriah selama masa Ottoman. Donald Quataert dalam bukunya Ottoman Empire 1700-1922, menguraikan Ramadhan selalu menjadi bulan istimewa di semua era kepemimpinan Islam, termasuk di masa Dinasti Turki Usmani/ Ottoman.
Pada masa Di masa Dinasti Turki Usmani, terutama di Damaskus pada abad ke-18, Gubernur Damaskus akan berkeliling wilayah untuk mengingatkan pembayaran zakat dan pajak beberapa pekan sebelum Ramadhan. Kehidupan masyarakat kota juga lebih semarak seusai ifthar, atau berbuka puasa.
Pusat-pusat kegiatan masyarakat lazim dijadikan tempat berkumpul untuk berbuka puasa bersama. Di pertengahan abad ke-19, raja juga memberi subsidi dan bantuan makanan kepada masyarakat miskin di bulan ini. Meriam sengaja ditembakkan pemerintah kota untuk memudahkan mengetahui waktu memulai dan berbuka puasa selama Ramadhan.
Sejumlah hiburan rakyat juga digelar, seperti karagoz (wayang) dan karnaval. Ramadhan dimanfaatkan juga sebagai bulan silaturahim antarbudaya dan agama. Istana biasanya mengundang para tokoh agama dan budaya untuk jamuan buka puasa bersama.
Penertiban tempat makan dan minum di siang hari juga ditertibkan. Polisi dikerahkan pada siang dan malam guna menghalau adanya orang mabuk di malam Ramadhan. Laki-laki dan perempuan juga dilarang berjalan hanya berdua saat itu. Meski tidak diketahui apakah ada hukuman yang dijatuhkan atau tidak, imam atau tokoh agama berperan memberi pengarahan.
Ulama juga terus diundang untuk membacakan Alquran setiap malam, baik di istana maupun istana. Menara-menara masjid juga diterangi lampu-lampu yang memberikan efek pendaran cahaya bagi wilayah sekitarnya.
Sekolah-sekolah juga diliburkan selama Ramadhan. Namun, ada saat para siswa dikoordinir sekolah untuk berkunjung ke desa-desa melakukan kerja sosial atau berbagi makanan. Kantor-kantor pemerintah mengalami atur ulang jadwal sehingga para pekerjanya tetap bisa memaksimalkan ibadah saat Ramadhan.
Niki Gamm juga melansir ulasan para pelancong Eropa yang sempat singgal di wilayah kekuasaan Turki Usmani antara abad ke-17 hingga 19 dalam tulisannya Ottoman Ramadan Through Foreigners’ Eyes. Evliya Celebi, Edmondo de Amicis, dan Lady Dorina Neave sama-sama menyebut Ramadhan di Istanbul sepi pada siang hari dan ramai di malam hari.
Kios-kios penjual makanan dan minuman juga tutup. Meski bukan Muslim, Celebi mengungkapkan ia tak disuguhi makanan oleh siapapun saat pertama kali tiba di Istambul di siang hari bulan Ramadhan.
Selepas azan Maghrib yang berkumandang dari menara-menara masjid, warga dengan suka cita berbuka puasa dan mengajak siapa saja, termasuk warga asing, untuk makan bersama. Istana, ungkap Celebi, biasanya menyajikan sajian istimewa khas Ramadhan bagi tamu negara. Namun, de Amicis dan Neave mengungkapkan makanan khas
Ramadahan seperti sirup dari estrak buah dan bunga juga di sajikan masyarakat.
Masjid, jalan-jalan, dan rumah-rumah dibersihkan menjelang dan di akhir Ramadhan. Orang-orang tetap saling bertegur sapa dan ramah kepada para pelintas baik yang mereka kenal maupun orang asing.