REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus melakukan kajian untuk menerapkan kebijakan tax amnesty atau pengampunan pajak. Nantinya, bukan hanya sanksi pidana pajak yang bakal dihapuskan. Tapi juga sanksi pidana yang salah satunya untuk para pelaku korupsi.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Mekar Satria Utama mengatakan, DJP memang mengusulkan agar diberlakukan special amnesty atau pengampunan khusus. Yakni seluruh pidana umum dan khusus lainnya juga dihapuskan.
"Kecuali yang terkait aksi terorisme dan narkotika. Selain tindak pidana ini, kami mengusulkan semestinya yang lain bisa diampuni," kata Mekar kepada Republika, Selasa (23/6).
Amnesti pajak bakal menyasar ribuan triliun uang atau aset milik orang Indonesia yang diparkir di Singapura. Bagi mereka yang nantinya mengikuti program ini, tidak akan dipermasalahkan dari mana uang itu berasal, termasuk apabila dari hasil korupsi. Kecuali kalau uang itu berasal dari kegiatan peredaran narkotika dan aksi terorisme.
Mekar menjelaskan, wajib pajak yang mengikuti program ini harus membayar semacam kompensasi dengan tarif 10 persen dari total aset yang dilaporkan untuk dikembalikan ke Indonesia.
"Tarif kompensasinya mengerucut di angka 10 persen. Kalau saja misalnya bisa menarik aset Rp 1.000 triliun, maka kita bisa mendapat penerimaan Rp 100 triliun," kata Mekar.
Mekar menyadari kebijakan ini menimbulkan kontroversi. Karena itu, DJP hingga saat ini terus berusaha mengumpulkan saran dari kalangan akademisi, pengusaha, penegak hukum, hingga masyarakat. Namun, dia mengakui aparat penegak hukum belum merestui kebijakan ini.
"Kami terus mengumpulkan pendapat dan menyusun naskah akademis apakah program ini bisa dijalankan atau tidak," ujarnya.