REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksana tugas (Plt) Ketua KPK Taufiquerrachman Ruki mengakui pihaknya tidak memiliki rekaman terkait dugaan kriminalisasi pimpinan maupun penyidik lembaga anti rasuah.
"Kami patuh putusan pengadilan, putusan pengadilan apapun kami patuh, tapi kalau tidak punya rekaman apa yang diserahkan? Kami tidak pernah memerintahkan ada perekaman," katanya di gedung KPK Jakarta, Selasa (23/6).
Ruki mengatakan harus dibedakan antara penyadapan dan rekaman. Ia pun menegaskan pimpinan KPK tidak pernah memerintahkan penyadapan. "Yang jelas pimpinan KPK tidak pernah memerintahkan (penyadapan) itu, kalau ada surat perintah (penyadapan) baru (penyadapan) itu tanggung jawab pimpinan," ujarnya.
Sementara Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi, mengatakan penyidik KPK Novel Baswedan juga sudah ditanya mengenai keberadaan rekaman itu.
"Novel sudah dihadirkan di sini dan dia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di MK, yang disampaikan kepada saya bahwa dia menceritakan kronologi kejadian sejak 2009, dan ada sadapan pada 2009," katanya.
"Memang ada jadi banyak kejadian saat itu dan tidak khusus kejadian kemarin (saat Budi Gunawan) itu. Pak Zulkarnain dan Pak Pandu selaku pimpinan juga sudah membantah tidak ada rekaman itu," jelasnya.
Pada hari ini, hakim konstitusi Patrialis Akbar meminta Wakil Ketua KPK non-aktif Bambang Widjojanto untuk memberikan konfirmasi tentang kebenaran soal keberadaan rekaman upaya pelemahan KPK. Jika memang benar ada, Patrialis meminta rekaman tersebut diputar di muka sidang.
"Pada surat yang diajukan kuasa hukum ke MK, butir tiga menyatakan keterangan Novel Baswedan tentang adanya upaya penghalangan pemberantasan korupsi, bahwa ada rekaman disimpan KPK. Apakah pemohon mengetahui dan dapat mengajukan bukti rekaman itu," kata Patrialis dalam sidang.
Namun menanggapi permintaan tersebut, Bambang mengatakan, sebagai pimpinan non-aktif KPK ia tidak memiliki kapasitas untuk memaparkan ada atau tidaknya rekaman itu.
Awal terungkapnya rekaman itu adalah pada 25 Mei 2015 saat memberikan kesaksian dalam sidang uji materi pasal 32 ayat 2 UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK), penyidik KPK Novel Baswedan mengatakan penyidik yang menangani kasus Budi Gunawan mengalami ancaman fisik maupun telepon.
"Selain itu ancaman fisik, salah satu plt struktural di penindakan KPK diancam secara fisik, didatangi rumahnya dan ada juga di telepon. Saya bisa mengetahui karena yang bersangkutan cerita kepada saya dan juga yang bersangkutan merekam pembicaraan telepon tersebut. Mungkin yang bersangkutan merasa perlu bukti sehingga melakukan perekaman oleh dirinya sendiri," kata Novel dalam sidang MK pada 25 Mei 2015.
Sehingga Novel meyakini bahwa ada kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK tersebut dan juga penyidik.
Bambang Widjojanto mengajukan pengujian Pasal 32 ayat (1) huruf c dan Pasal 32 ayat (2) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Kedua aturan itu mengatur, pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan karena menjadi terdakwa serta dapat diberhentikan sementara jika menjadi tersangka tindak pidana kejahatan.