REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN -- Pria kelahiran Dempet, Kabupaten Demak 30 tahun lalu ini mulai belajar membaca Alquran sejak umur lima tahun. Tumbuh di tengah- tengah keluarga yang berasal dari ‘Kota Wali’ menjadikannya dekat dengan ajaran religi.
Baik dalam melaksanakan ibadah puasa serta pengamalan rukun Islam lainnya. Hanya saja --sebagai penyandang tunanetra—jamak menghadirkan keterbatasan baginya. Makanya meski belajar membaca Alquran sejak usia belia ini, Agus hanya mampu melakukannya secara hafalan.
“Awalnya saya hanya bisa menghafal saja. Karena memang mushaf Alquran Braille dulu juga tak pernah ditemuinya,” ungkapnya. Ia masih ingat, bagaimana ia harus menirukan ustaz atau rekan sebayanya yang tak memiliki keterbatasan saat belajar membaca Alquran, di kampungnya. Hal ini terus dilakukan hingga ia menginjak masa remaja.
Seiring bertambahnya usia, keinginannya untuk belajar membaca kalam Illahi ini tak pernah surut. Hanya saja mushaf Alquran Braille menjadi sesuatu yang mahal baginya. Sampai akhirnya ia begabung dengan Difabel Center Kabupaten Semarang. Kebetulan, di tempat pemberdayaan para penyandang disabilitas ini jamak memberikan kegiatan yang positif dalam hidupnya.
Baik dalam berketrampilan, berwirausaha hingga pengembangan dalam keagamaan. “Sehingga para penyandang tunanetra di sini tidak identik dengan jasa pemijat,” ujar Agus.
Tak terkecuali dalam pengembangan kemampuan dalam membaca Alquran. Karena lembaga pemberdayaan ini telah menjalin kerjasama dengan Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) serta Yayasan Ummi Maktum.
Beberapa tahun terakhir Difabel Center Kabupaten Semarang telah mendapatkan wakaf sedikitnya 20 set mushaf Alquran Braille. Tak hanya itu, lembaga pemberdayaan bagi kaum difabel ini juga menyediakan pengajar Alquran Braille. Sehingga banyak membantu keinginannya untuk belajar membaca.
Baginya kedua guru dan rekan- rekan sesama penyandang tunanetra yang ada di Difabel center Kabupaten Semarang ini menjadi bagian penting dalam kehidupannya. Hingga saat ini, proses pembelajaran membaca alquran Braille terus dilakukannnya bersama sedikitnya 46 penyandang tunanetra lainya dari Kabupaten Semarang dan daerah lain disekitarnya.
Termasuk pada momentum Ramadhan kali ini. Selain berbagai kegiatan menyambut Ramadhan ia juga terus mengasah diri dengan membaca Alquran Braille ini. Karena Ramadhan banyak memberikannya waktu untuk belajar. Karena saya punya keinginan untuk mampu mencapai hafiz Quran,” ujarnya.